Yudhistira melihat alamat yang tidak baik itu merasa khawatir, sang Arjuna menghadap Bhagawan Wyasa, dan mempersembahkan kejadian di negeri Dwaraka. Pandawa dinasehatkan pergi ke hutan. Semua Pandawa setuju untuk masuk hutan. Parikesit dinobatkan menjadi Raja. Sebagai penasehatnya ditugaskan Krepa dan Yuyutsu. Sebelum berangkat juga diadakan selamatan untuk roh para Yadawa. Dewi Subadra tetap di Hastina, Dewi Ulupi pulang ke Pancala, Dewi Citranggada dititah ke Manipura. Setelah meninggalkan istana, para Pandawa diikuti oleh seekor anjing.
Perjalanan Pandawa menuju ke utara sampai di Sungai Gangga, meneruskan perjalanan ke timur. Sang Arjuna masih membawa busur panah, yang bernama Maesudhi. Tak berapa lama bertemu dengan Hyang Agni yang berganti rupa menjadi manusia. Atas nasehat Hyang Agni senjata Maesudhi dibuang ke laut. Setelah itu meneruskan perjalanan ke selatan menuju Bharatawarsa dan dengan diiringkan oleh seekor anjing. Setelah sampai di gunung Himawan, mereka lalu memuja Dewa-Dewa. Perjalanan diteruskan melalui gurun pasir. Drupadi meninggal dunia, Bhima yang selalu menanyakan sebab-sebab mengapa mereka meninggal pada Yudhistira. Drupadi meninggal karena cintanya kepada kita berlima. Menyusul Sahadewa, karena sombongnya, Nakula karena merasa paling bagus, Arjuna tak sanggup menepati janjinya, sudah itu Bhima karena sangat kuat makan. Inilah dosa-dosa yang membawa kematian. Namun Yudhistira dapat selamat, namun anjing tetap mengikutinya. Hyang Indra turun dengan keretanya menjemput Yudhistira. Terjadilah wawancara yang sangat unik. Dalam wawancara itu Yudhistira mempertahankan agar anjing itu dapat turut masuk ke surga, walaupun dia binatang yang kotor. Hyang Indrra tak dapat mengalahkan pertahanan Yudhistira dan diberikannya naik ke surga. Dan segera anjing itu menghilang. Datanglah Rsi Ghana, dan Narada. Di sana Yudhistira menanyakan tempat saudara-saudaranya. Yudhistira menekankan bila dia tidak naik surga bersama saudara-saudaranya dia tak mau naik surga. Ke dua Rsi itu tak dapat mengalahkan kesetiaan Yudhistira. Akhirnya Panca Pandawa dengan Drupadi naik ke surga menikmati kehidupan surga dengan bahagia.
Setelah unsur kekuatan Tuhan telah tidak ada lagi maka kehidupan kesadaran ber Tuhan menjadi bingung. Kebingungan tak dapat dihilangkan. Dalam alam pikiran yang suci itu malah membenarkan kehidupan dharma tanpa unsur ke Tuhanan adalah sangat membingungkan. Siapakah tidak akan bingung, kalau memang benar kita merasa beragama tanpa mempunyai jiwa ke Tuhanan. Semuanya akan merasakan kebingungan yang amat sangat. Apalagi kalau mendengar kata yang menanyakan mana Tuhan, dan kalau memang ada mana buktinya. Mana mungkin Tuhan akan datang memberikan uang atau segala yang diminta. Tentu bingung bukan? Walaupun dalam kebingungan hendaknya jangan turut bingung. Nafsu dengan sendirinya akan membenci ke Tuhanan yang taat. Bila sifat kesadaran akan Tuhan telah bingung, maka Parikesit yaitu kemuliaan yang cacat akan merajainya, malah akan melebur kesempurnaan hidup di dunia menjadi manusia yang penuh dengan perasaan aku yang paling kuasa.
Dengan keutamaan yang cacat terang pula segala tindakan yang akan dilaksanakan akan cacat pula. Kekuatanlah yang menjadi keutamaan. Keutamaan yang cacat dengan kebenaran yang diarahkan untuk kejayaan diri sendiri, walaupun didampingi oleh kekuatan dunia yang baik toh akan terjerumus juga dalam mengikuti sang nafsu. Wiweka yang bijaksana telah tidak ada lagi. Khayalan akan hidup di alam kebahagiaan suka dan pawali duka telah tidak ada. Lalu apa yang hendak dilakukan. Lihat nanti kematian sang Parikesit. Dalam kebingungannya alam kesadaran itu, selalu menuju keteguhan iman dalam kesucian hidup, menuju kelepasan dalam peleburan, serta mempertahankan hidup selama bisa bertahan namun telah menjadi kodrat sesuatu itu tidak kekal, dan perubahanlah yang kekal. Kesadaran menuju ambang kehancuran. Satu persatu lenyap dengan dimulainya oleh Drupadi. Pembinaan hidup telah hilang, sebagai akibat tresna akan selalu hidup berkumpu1. Kenikmatan hidup yang bahagia di dunia (badan), kekuatan tenaga telah tidak ada lagi. Seperti Sahadewa karena merasakan tidak akan dapat hilang, badan telah mati pula karena dikira tidak akan bisa mati. Seperti Bhima yang selalu haus untuk bekerja, ilmu pengetahuanpun hilang karena telah tidak tepat kebenarannya. Seperti Arjuna, sifat berkorban dan beramal mengalami nasib yang sama karena sudah tidak ada lagi yang akan dipakai. Yang tinggal adalah sifat bhakti. Sifat bhakti walaupun diikuti oleh anjing, yang menunjukkan adanya cuba acuba karma. Karma itu akan dibawa. Apakah itu akibat karma jelek, akibat karma baik tetap akan dibawa. Siapapun tak akan dapat meninggalkannya. Hyang Indrapun tak dapat mengalahkanya itu. Namun karena sifat ketidak terikatan karmawasana itu akan hilang dengan sendirinya tanpa disadari. Begitu juga kesetiaan yang dilakukanpun harus dibawa kesemuanya. Misalnya dalam bhakti tidak ada yang tidak ada, dan semuanya ada. Yang ada itu adalah Tuhan, oleh karena itu tak perlu takut akan sesuatu penderitaan yang mungkin akan menimpa. Ke semuanya itu hendaknya dilandasi dengan bhakti. Apakah itu ilmu pengetahuan (Jnana) apakah itu dengan berbuat (Karma) apakah itu dengan mempergunakan kekuatan kemakmuran (Wibhuti), apakah kekuasaan (Raja), hendaknya ke semuanya dan dilandasi dengan dasar bhakti. Tanpa bhakti ke semuanya tidak akan menemukan ke sasaran yang tepat. malah akan makin jauh dari sifat ke-Tuhanan yang dituju dan dilaksanakan. Dengan ilmu juga tidak bisa, ke semuanya tak akan dapat mencapai kebahagiaan. Cobalah perhatikan, bahwa dunia ini ada empat penjuru dan di mulai dari tengah sehingga menjadi lima penjuru (Wiswamurti).