Semua ada dalam diri sendiri tidak ada di luar. Cuma di luar hanya bayangan (di dalam cermin ada diri). Hidup adalah bayang-bayang, maka hidup di mayapada, hidup yang palsu, yang semu, tetapi kita menganggap hidup ini sejati. Kita keliru mamandang hidup ini. Dunia ini adalah dunia yang semu. Yang ada di bhuana agung ada dalam diri kita (bhuana alit). Orang yang tidak senang tutur adalah orang palsu. Bharata : dunia, kandang. Maha : luas. Kandang berisi binatang, dalam diri banyak binatang. Di dalam diri kita ada Dewa dan Bhuta. Tri Guna (Sattwam, rajas, tamas). Sattwam : berpikir ke atas, kebenaran, ke Tuhan. Tamas, ke tanah, berebut isi tanah. Dewa dilahirkan dari budi sattwam (mengerti tentang hidup, berkepribadian. Tamah (tanha) : buta, gelap. Rajas (raj) : yang berkuasa, yang mendorong kita berbudi sattwam dan tamas. Bebek melambangkan sattwam, babi melambangkan tamas, berpikir tamas menjadi buta, memperebutkan tanah. Sattwam, mengerti hidup, bagaimana mencari kerja. Dewa : suksmaning idep, tidak pernah bingung/gelisah. Sifat-sifat Tri Guna diceritakan dalam Mahabharata dan Ramayana.
Belajar hidup susah. Dalam menjalani hidup manusia jatuh bangun. Dalam hidup harus rajin. Tuhan adalah paling rajin. Jadi manusia lebih gampang. Tuhan menciptakan segala sesuatu dan isinya. Dari sini lahirlah kata yajna, kerelaan berkorban. Putaran kehidupan melalui ekologi dan ekosistem. Tuhan berhenti bekerja dunia ini hancur maka jangan mengaku manusia lebih pintar dari Tuhan. Dua cerita yang menyangkut mentalitas manusia (Mahabharata) dan kesejahteraan hidup (Ramayana). Antara mental yang tidak bisa dipegang dan kesejahteraan. Mental tidak bisa dipegang tetapi bisa dirasakan akibatnya. Manusia dibagi dua (budi sattwam dan budi tamas). Sedangkan rajas adalah pendorong ke sattwam dan ke tamas. Ke tamas : manusia serakah, ke sattwam : manusia yang berketuhanan. Suksma : Pandawa/anak Pandu, tidak pamerih, mencari Tuhan, dewa. Korawa : kumpulan bingung, buta hati. Badan ini terdiri dari Panca Mahabhuta dan diurip oleh Panca Tanmatra. Stula sarira, badan kasar, banyak keinginan akan kenikmatan dunia. Stula sarira berasal dari Panca Mahabhuta. Korawa dikomandoi oleh sifat dur (Duryodhana, Dussasana, komandan orang bingung). Kejahatan terjadi pada orang yang suka menuntut untuk kepentingan badan. Pandawa (Pandu) tidak mau berbuat. Anak-anak Pandawa kelahiran Dewata. Perang Bharatayudha, perang dalam diri sendiri, yang mana mau dimenangkan? Pertempuran belum selesai, memperebutkan Hastina (badan kita). Mau dibawa ke mana? Apa menjalankan dharma atau menjalankan kesenangan? Terjadi perang antara dharma dan adharma, antara yang tahu kewajiban dan tanggung jawab dan yang tidak tahu kewajiban dan tanggung jawab yang bertempur dalam perang Bharatayudha. Bagaimana kesejahteraan kita? Diceritakan dalam Ramayana, bagaimana kita memimpin/memanfaatkan kehidupan ini. Ayodya : kerahayuan kehidupan, Alengka : malas, yang penting senang, banyak raksasa (ingin memiliki). Ayodya : kebanyakan kera (berpikir). Kalau ingin menciptakan kehidupan yang rahayu tentu harus banyak berpikir. Yang diperebutkan adalah Dewi Shita (harta dunia).
Mengembangkan sikap mental, bagaimana konsep hidup ini supaya bisa hidup ini utuh, tidak ada yang lebih atau kurang tetapi utuh. Sikap mental kita rajanya Dharmawangsa (bagaimana menjalankan kewajiban). Ini yang diganggu oleh keinginan-keinginan yang dipengaruhi oleh gengsi, maka hidup ini menjadi semrawut. Kalau pikiran salah, hasilnya akan salah. Antara hubungan materi dan sikap mental harus dipertemukan. Bagaimana kuat, dan licik materi itu untuk menguasai. Dengan berpikir material, kita dikuasai oleh pikiran-pikiran yang tidak bertanggung jawab, tidak dikuasai oleh dharma. Kita berusaha menyelamatkan hidup ini. Hidup ini penuh dengan masalah dan tidak pernah berhenti, antara kesulitan dan kemampuan. Karena kita membutakan diri, kita tidak mau tahu soal-soal itu. Setelah dapat untuk apa? Ini tidak berpikir (membutakan diri). Tidak pernah memilih keselamatan, keharmonisan dalam kehidupan, karena dikuasai oleh kesenangan, apalagi dipengaruhi oleh gengsi. Sumber kekacauan dalam pergaulan hidup. Orang-orang seperti ini tidak mungkin hidup aman. Pembenaran-pembenaran diri akan bertempur dengan kewajiban-kewajiban tanggung jawab hidup. Mana yang salah? (materi atau sikap mental). Tetapi perlu dipahami, hidup ini akan selalu dikuasai oleh masalah sesuai besar kecilnya keinginan. Masalah dan keinginan sebanding. Satu juta orang satu bisa bahagia. Kita menjumpai ketakutan-ketakutan, tidak ada jalan, tidak ada pintu yang terbuka. Bahwa hidup ini palsu. Kita diputar oleh rwabhineda. Orang sekarang senyum saja sulit.
Bhagawad Gita menentukan nasib manusia. Mengapa harus takut? Memperlihatkan nasib, siapa yang akan mati? Siapa yang akan sengsara? Hati, mata kita harus terbuka, jangan sampai mata topeng. Kita harus memahami hidup ini, kalau tidak, kita akan keseleo. Membutakan diri menimbulkan penyesalan. Gandhari, orang yang cerdas sengaja membutakan diri sehingga menghalalkan semuanya, membolehkan semuanya.
Prinsip dasar hidup, jangan material (letaknya di kiri). Materi mengarahkan manusia untuk jahat, karena semua materi dihubungkan dengan bagaimana egonya. Materi adalah suatu alat untuk menyelesaikan masalah, alat untuk maju ke depan untuk menyelesaikan dharma kita. Tanpa materi bagaimana kita maju ke depan? Kita harus bisa memanfaatkan materi berdasarkan catur dharma. Materi adalah milik Tuhan, jangan semau gue, muncul rasa bersyukur, sehingga kita bisa menjalankan dharma, dan jalurnya menjadi benar. Perdebatan dalam badan kita, tetapi dharma masih kalah, sang adharma menang, sehingga keadaan menjadi miskin (keinginan-keinginan kita tidak mempunyai sarana pendukung). Kemampuan untuk mendukung keinginan sudah habis, menjadi sumber masalah sekarang.
Kita diajarkan asas manfaat. Dengan mengerti manfaat semua kesulitan akan terbebas. Tahu asas manfaat kita akan dapat mengendalikan keinginan yang tidak perlu. Tuntutan hidup seribu satu macam, yang menyebabkan kita tidak pernah senyum. Kita tidak ada jalan untuk mengendalikan kehidupan kita maka terjadilah zaman seperti sekarang ini (tak terkendali dan tak peduli). Lalu bagaimana nasib manusia? (Purnama Waisak, 17 Mei 2011)