Tadi telah datangnya alamat mengenai kehancuran dharma yang dilandasi oleh bhakti yang tulus ikhlas akan ke Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa). Hal itu akan terlihat pada cerita tumpasnya darah Yadawa.

Pada suatu hari Bhagawan Wiswamitra, Bhagawan Kanwa dan Bhagawan Narada ke Dwaraka. Kedatangan ke tiga Bhagawan tadi disambut dengan ejekan oleh sang Sarana dengan sang Samba. Sang Sarana sebagai biang keladinya. Sang Samba berpakaian kulit kayu seperti orang yang mengandung dan meminta agar Bhagawan tadi dapat menebak anak yang sedang dalam kandungan. Mendengar hal itu Bhagawan mengatakan bahwa kamu itu adalah Samba, anak Krishna, namun karena maksudmu mengejek maka kamu akan melahirkan gada yang membuat hancurnya Bangsa Yadawa, kecuali Bhatara Krishna dan Baladewa. Bhatara Krishna akan mati oleh panah sang Jara, dan Baladewa akan terjun ke laut. Mendengar sabda sang Bhagawan, Bhatara Krishna telah mengerti bahwa tidak berapa lama lagi hal itu akan terjadi. Keesokan harinya Sang Samba melahirkan anak gada itu lalu dipersembahkan kepada Ugrasena. Beliau menitahkan agar gada itu dikikir, dan kikirannya itu dibuang ke laut. Namun setelah dibuang, malah tumbuh menjadi rumput yang memenuhi laut sampai ke tepi laut. Oleh karena itu semua rakyat dilarang minum minuman keras, untuk menjaga agar jangan terjadinya pertengkaran di antara Bangsa Yadawa sendiri. Semua bersiap dan waspada agar jangan sampai terjadi perselisihan. Namun datanglah Hyang Kala mengunjungi tiap-tiap rumah dengan muka hitam, badan merah, tidak berambut pada waktu malam, dan siang tak kelihatan. Mereka sulit untuk memburunya. Alamat lain seperti tikus menggigiti kuku dan rambut, dan hal-hal lain yang tak wajar. Gerhana bulan jatuh pada tanggal 13. Setiap orang senang melakukan pekerjaan yang tidak baik. Pada waktu itu telah genap 36 tahun kutukan Dewi Gendari pada Krishna. Terjadilah perselisihan antara Aswatama dan Karthamarma dengan darah Yadawa. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat. Pertempuran semakin seru, sehingga tidak mengenal mana kawan mana lawan. Rumput dicabut menjadi gada. Darah Yadawa semuanya terbunuh, kecuali Krishna dan Baladewa. Melihat hal yang demikian, Bhatara Krishna memanggil sang Babru dan sang Daruki, untuk mencari sang Baladewa. Tak berapa lamanya dijumpailah Baladewa sedang bersandar di bawah pohon, sedang mengheningkan cipta. Bhatara Krishna lalu menitahkan Daruki untuk memanggil Arjuna. Sang Babru disuruh menjaga isterinya. Sang Babru mati terbunuh di tengah jalan. Bhatara Krishna mendapatkan ayahandanya Raja Wasudewa, untuk mempersembahkan semua istrinya, karena beliau akan masuk hutan. Juga dipesankan, bila Arjuna datang agar semua istrinya dan istri darah Yadawa yang masih hidup diserahkan kepadanya. Sang Baladewa yang sedang kelihatannya mengheningkan cipta, akan ke luar dari mulutnya Taksaka, Kumuda, Mundarika, Hreda, Durmuka dan Praerdhi. Yang jalan di depan adalah Hyang Baruna diikuti oleh Baladewa, menuju ke laut. Terpaksa saya putuskan lagi sampai pada Baladewa terjun ke laut, dan sesudah itu akan saya teruskan dengan kematiannya Bhatara Krishna.

Alamat tidak baik dari hancurnya sifat dharma, ialah karena terlalu membuka lebar indrya itu untuk dipenuhi. Hal ini akan terlihat juga dengan dihinanya pelindung kebenaran yaitu hidup berdampingan yang penuh tatwamasi, peredaran dari kehidupan yang selalu bergerak, macrocosmos dan kekuatan dari ilmu pengetahuan akan kenyataan. Ke tiga unsur itu telah tidak mendapat tempat dalam sarana sebagai hasil dari keyakinan akan ke Tuhanan. Hasil yang merupakan karma baik dalam menuju kemuliaan hidup telah dihinanya sendiri. Bila hasil-hasil dari perbuatan suci itu telah tidak diakuinya. Inilah suatu bukti yang nyata akan sifat tidak mengakui adanya kebenaran. Kalau keadaannya sudah demikian, akan melahirkan suatu sifat yang mengaku diri yang paling kuat. Kekuatan yang menjadi sebab hilangnya jiwa ke Tuhanan. Kekuatan itu diserahkan pada sifat yang hanya mengakui yang kelihatan saja. Dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri akan selalu melebur sifat yang benar. Selalu merasa kuat dan kuasa. Kekuatan badan akan dapat memberikan makan. Makanan pula akan dapat menyebabkan kematian. Hyang Kala datang, waktu pikiran menjadi gelap, dangan pandangan yang gelap, dengan menunjukkan kekuatan badan akibat marah, yang tidak mengikutsertakan pikiran sebagai alat untuk mengadakan logika. Selalu menyelinap dalam diri. Penipuan sering terjadi. Tipu saling tipu dan selalu mencela kebenaran. Terjadilah pergolakan yang seru dalam diri sendiri. Makanan sebagai sebab hancurnya kebenaran. Lautan hidup penuh dengan makanan yang memberikan kekuatan tempur untuk menghancurkan kebenaran. Fungsi kerja sudah tidak ada yang terkendali, dan semuanya.

Semuanya sudah bertentangan dari kewajaran. Kebenaran keagamaan telah dipandang salah, karena telah  melarang untuk memuaskan keinginan nafsu duniawi. Dunia menjadi surga. Hancurlah kebenaran. Kekuatan Tuhan telah bingung dan bersandar pada iman. Kekuatan kebenaran telah menyerahkan pada takdir. Malah dalam kebingungan keluarlah Taksaka sebagai nafsu untuk hidup, Kumuda sebagai penyebab tenaga jasmani, Mundarika sebagai pemuja kekuatan, Hreda sebagai pemuas perasaan, Durmuka menjalankan yang keliru, Prawerdhi untuk kembali ke yang duka. Hal ini adalah juga merupakan kekuatan dari sad ripu. Kesemuanya menuju ke laut  kehidupan (makanan, pemuas nafsu) yang didahului keinginan mempertahankan hidup yang penuh nafsu. Kesucian telah kembali terlebur. Setelah itu Krishna mencari Arjuna agar dengan ilmu pengetahuannya akan dapat memelihara alat-alat yang telah ditinggalkan oleh darah Yadawa. Sifat ke Tuhanan ini saya maksudkan tiada lain dari buku-buku suci yang menceritakan serta yang sesuai tata kehidupan beragama yang benar yang telah ditinggalkan oleh penganutnya sebagai akibat dari pertengkaran-pertengkaran yang dibuat oleh penganutnya sendiri sebagai sarana dalam menjalankan kebenaran-kebenarannya dalam hidup beragama. Maksud kekuatan pembebas kezaliman dalam kebingungannya, bermaksud untuk menyerahkan pada kebijaksanaan ilmu ke Tuhanan. Babru juga termasuk nafsu yang menjiwainya. Daruki berarti nafsu yang mengendalikan. Keduanya terang telah kalah dan tak mampu memelihara materi dari tempat atau menjadi wadah kebenaran.

Dalam mengulas mengenai hancurnya Yadawa saya melihat sangat banyak sekali yang kurang mengenai sasaran yang tepat. Namun mudah-mudahan tidak banyak atau jauh menyimpang, dari apa yang seharusnya, namun dengan kekuatan nafsu yang terkendali, dapat juga mengantarkan orang-orang bijaksana agar mau memelihara yang ditinggalkan oleh ajaran kebenaran (Agama).

Sekarang saya akan lanjutkan dengan kematiannya Bhatara Krishna sebagai seorang Awatara dan pengendali dunia. Putra Raja Wasudewa bernama Sang Jara. Bhatara Krishna sedang duduk-duduk di bawah pohon. Sang Jara sedang berburu. Begitu sang Jara melihat telapak kaki yang putih segera memanah,  kaki sang Krishna kena panah, dan seketika itu berganti rupa menjadi Bhatara Wishnu, dengan empat tengan serta berpakaian kuning. Melihat hal demikian segeralah sang Jara menyembah, dan dibawalah sang Jara ke surga.

Pada suatu hari datanglah Arjuna diiringkan oleh Daruki. Oleh Wasudewa semuanya yang masih hidup diserahkannya kepada Arjuna. Wasudewa seketika itu meninggal. Permaisuri beliau ada tiga ialah, Dewaki, Rokhini dan Madira. Kesemuanya turut membakar diri bersama pada waktu upacara pembakaran jenazah Wasudewa. Arjuna kembali. Sesampai di Pancanadha, Arjuna dibegal. Namun setelah begal itu melihat bahwa itu adalah Arjuna begal itu lari. Sang Bajra diangkat menjadi Raja Yadawa. Karena dia salah seorang darah Yadawa yang masih hidup. Adapun permaisuri Bhatara Krishna adalah Dewi Rukmini, Jembawati, Satyabhoma. Selesailah riwayat keluarga Yadawa.

Seperti yang saya nyatakan bahwa mencari istilah nama yang terkandung di dalamnya agak banyak kesulitan. Namun saya tetap berusaha, walaupun tidak sesempurna yang diharapkan. Wadah-wadah kebenaran ke Tuhanan masih ada, misalnya berupa buku-buku suci Weda, Smerti, Brahmana dan Upanisad. Namun setelah Arjuna datang dapat melihat bahwa kebenarannya masih ada dan diangkat menjadi Raja. Bajra adalah juga berarti kekuatan suci yang dapat menghubungkan antara kehidupan sebagai sarana dengan sumber kesucian. Bajra berarti genta. Sumber kekuatan (Wasudewa) masih memeliharanya. Jara adalah suatu kehidupan tanpa keakuan atau kekuatan yang lemah.

Untuk mempertahankan harga diri untuk menikmati dunia, sehingga dalam kebingungan berbuat dengan penyerahan diri kepada takdir dan tanpa disadarinya perbuatannya telah mengenai telapak kaki pengendali kebenaran. Berarti pula dia telah menemukan kebenaran serta kekuatan Tuhan. Bila dihubungkan dengan Samadhi, maka Jara adalah orang yang telah pada tingkat Samadhi. Atau pula Atman telah berjumpa dengan Brahman. Setelah mengetahui hal itu barulah Jara dapat mengenal secara langsung kesejatian Tuhan. Krishna berubah menjadi Wishnu. Jara adalah putra Wasudewa dan Krishna adalah juga putra Wasudewa. Wishnu adalah 1ambang pemelihara. Tangan empat adalah Cadu Sakti yang mempunyai arti empat kemahakuasaan Tuhan. Ke empat itu adaláh Wibhu Sakti dapat memberikan materi dunia, Prabhu Sakti dapat menguasai dunia, Jnana Sakti berarti Maha tahu, Krya Sakti dapat mengerjakan sesuatu yang menjadi kehendak dari beliau. Dengan kekuasaan beliau itu dapat memelihara keinginan dunia yang baik (Rukmini), dapat memelihara hidup (jiwa) (Jambawati), dapat memelihara rohani (Satyabhoma). Namun kekuatan tenaga yang baik seperti  Dewaki kekuatan tenaga rohani (Rokhini) dan kekuatan pengatur (Madira) bersama lebur menjadi satu (bersatu) dengan sumbernya. Kembalilah semua kekuatan yang diberikan dalam mengendalikan hidup menuju kedamaian yang abadi dan yang tinggal adalah materi Ketuhanan yang mati, yang dipelihara oleh ilmunya sendiri. Lenyaplah jiwa suci dan berganti kembali dengan hawa nafsu sebagai Raja. Panca Nadha adalah kebijaksanaan dalam hidup menuju Tuhan. Bila dalam membawa sarana-sarana Ketuhanan (mempelajarinya) sering dibingungkan oleh sesuatu perbedaan cara menuju Tuhan. Bila ingat akan apa yang disebut kebijaksanaan (lima cara) itu, hilanglah semua kebingungan itu (Wiswamurti).