Upacara pembakaran Bhisma telah selesai. Pandawa telah kembali ke Hastina, dan telah dapat menemukan kekayaan di Gunung Himalaya sebagai kekayaan Hastina. Dalam kesibukan persiapan Aswa Weda, Dewi Utari melahirkan putera. Puteranya lahir dalam keadaan mati. Kebetulan Bhatara Krishna dan Dewi Subadra berada di Hastina. Kematian bayi itu disebabkan oleh panah Brahmastranya Aswatama. Bhatara Krishna masuk kamar bayi yang baru dilahirkan, dan kebetulan Dewi Kunti dan Dewi Subadra sudah berada di sana. Sesuai dengan janji beliau, maka bayi itu seketika itu hidup, dan diberi nama Parikesit. Bhatara Krishna telah menyaksikan sesaji dari Aswa Weda yang dilaksanakan oleh Yudhistira, beliau akhirnya pulang. Sebelum melakukan korban Aswa Weda, atau sebelum belajar Weda (Ilmu pengetahuan yang suci), terlebih dahulu lahirlah Parikesit.

Marilah saya ajak, dulu ayahnya, Bhimanyu yang kalah oleh Jayadrata. Keagungan akan lebih menonjol dari kemuliaan, apabila dalam perbuatan itu disebabkan oleh adanya Sad Ripu yang akan menimbulkan adanya Sapta Timira. Kegelapan karena merasa selalu lebih dari yang lain. Keutamaan tak akan dapat tercapai. Dewi Utari sebagai kekuatan penegak. Keutamaan telah ditipu oleh sifat aku (ego), sehingga menimbulkan kuasa atau agung. Dalam menegakkan sifat kemuliaan dunia akhirat atau lahir bathin, hendaknya sifat ego itu dikikis habis. Barulah keinginan menegakkan dunia akan tercapai, dan keadilanpun tercapai pula. Hal ini jelas merupakan penipuan diri sendiri, karena perbuatan yang dilakukan dengan amarah itu adalah satu perbuatan kekuasaan, bukan kemuliaan. Inilah suatu sebab mengapa Parikesit itu sering diceritakan lahir dalam keadaan cacat. Parikesit menurut pendapat saya memberikan kebahagiaan dunia tak sempurna, akan merusak kesempurnaan. Namun demikian kebenaran akan dapat menolongnya. Bila kekuatan mensejahterakan dunia itu, tertuju akan kebenaran (Tuhan), maka kemuliaan yang cacat akan dapat juga dibenarkan, walaupun keluarnya dengan perasaan marah. Oleh karena itu, perlulah mempelajari Weda agar dapat mengalahkan sifat yang suka marah, yang membuat cacatnya sifat keutamaan atau kemuliaan. Jadi Tuhan pun dapat melihat dengan kenyataan sebagai kehidupan manusia yang berkeinginan, dan tidak sempurna. Walaupun tidak sempurna Tuhan masih mau memberikan hak hidupnya, dengan syarat agar dikonsentrasikan ke arah yang benar. Disinilah telah jelas perbedaannya, mana yang disebut utama atau mulia dan mana yang disebut agung atau kuasa. Mana Bhimanyu dan mana Jayadrata. Orang merasa dirinya agung dan kuasa itu adalah perlu lagi mempelajari Agama. Karena dengan agama akan dapat menghilangkan sifat agung sendiri. Akan dapat mengalahkan sifat mau kuasa sendiri.

Bila tidak mau menyadari diri sebagai umat yang beragama, hal yang demikian akan sering dilakukan. Hal ini akan mendatangkan hasil yang tidak seperti yang diinginkan, atau cacat. Pasti tiada seorangpun yang ingin akan mau mendapatkan hasil yang tidak sempurna. Dan tiada seorangpun di dalam setiap usahanya akan mau berusaha dengan kerugian yang merugikan dirinya sendiri. Inilah yang sangat sulit. Namun saya kembalikan kembali kepada katanya Yudhistira kepada Drupadi bila keutamaan itu tak akan mendapatkan buahnya, maka tiada seorangpun yang akan menjalankan keutamaan. Namun banyak juga yang mau mencarinya dan berusaha mendapatkannya, walaupun dengan segala pengorbanan baik harta maupun perasaannya (rohani dan materi) (Wiswamurti).