Sebagai awal dari buku ini, saya akan mulai dengan kehidupan putra Pandu dan kehidupan putra Korawa. Sebagai pengganti dari Raja Shantanu dari Wicitrawirya ialah Raja Pandu. Tetapi sebagai akibat dari kutukan kijang jantan (penjelmaan Rsi Kindama) ketika beliau berburu ke hutan Himawan, karena membunuh kijang betina yang sedang bercinta-cintaan. Kutukan itu yang isinya bahwa nanti sang Pandu akan menemui kematiannya pada waktu sedang mengadakan/menjamah isterinya. Dengan kutukan inilah mengapa kelima putra Pandawa itu merupakan hasil dari pada kekuatan cipta dari istri Pandu (Kunti).
Dengan kekuatan Dewi Kunti menciptakan agar para Dewa menurunkan kekuatannya sehingga dapat mempuyai putra. Lahirlah Pandawa sebagai putra Dewata. Yudisthira putra Sang Hyang Darma, Bhima putra Bhatara Bhayu, Arjuna putra Hyang Indra, dan Nakula Sahadewa putra Dewa Aswin. Tetapi karena ajal telah datang pada sang Pandu, begitu timbul keinginan yang besar yang dapat melupakan akan kutukan Rsi Kindama sang Pandu akhirnya meninggal dalam pelukan Dewi Madrim.
Sekarang kita melihat kelahiran dari Korawa dari segumpal darah yang selama dua tahun dalam kandungan dan melahirkan seratus orang, dengan Duryodhana sebagai saudara tertua. Setelah kematian dari Pandu yang menggantikannya ialah Drestharastra. Tetapi karena beliau buta maka menunggu saat dewasanya putra Kuru. Seharusnya Yudisthiralah yang berhak menjadi Raja. Tetapi karena tipu muslihat dari Duryodhana untuk menjadi raja dan menyingkirkan Pandawa dari Hastina. Akhirnya Pandawa masuk hutan dan Duryodhana sebagai Raja.
Bila kita melihat akan ayah dari pada ke lima putra Pandawa adalah para Dewa, maka sumber dari kekuatan-kekuatan yang menjiwai kehidupan dari rohani kita tiada lain dari jiwa ke Tuhanan yang suci luhur. Di dalam menjalankannya, dalam memerangi kegelapan serta kebodohan dan kesengsaraan serta kemelaratan dalam menuju kebahagiaan yang abadi tiada lain dengan sifat Dharma (Yudhistira). Sifat Dharma adalah suatu keyakinan yang kuat akan kekuasaan Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih sayang. Hanya dengan kepercayaan yang kuat, serta bhakti yang tulus ikhlas segala penyebab dari penderitaan akan dapat dilenyapkan. Dengan kepercayaan yang kuat itu akan timbul suatu tindakan—tindakan yang dilandasi dengan Panca Satya dengan penuh kejujuran. Dengan mempercayakan diri pada Tuhan dalam melakukan kewajiban sebagai tugas hidup tanggung jawab serta berani menderita dalam mengalahkan penderitaan.
Oleh karena itu sebagai pegangan pokok dalam kehidupan di dunia dalam membaktikan diri adalah ikhlas dalam segala perbuatan tanpa mengharapkan jasa serta dengan kejujuran. Sebagai pelaksanaannya ialah Bhima. Taat melakukan kewajiban yang telah menjadi beban dan tanggung jawab, dengan tidak takut penderitaan, walaupun jiwa sebagai korbannya. Di dalam kedua hal tadi perlu adanya pengetahuan yang penuh kebijaksanaan (Arjuna) untuk dapat mengenal mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diperbuat, dan dengan cara bagaimana melaksanakannya sehingga apa yang harus dikerjakan dapat menemukan sasarannya yang tepat. Di sinilah tugas Arjuna sebagai anak Kunti yang terkecil. Bila kita melihat Yoga-Yoga yang pernah kita sama mendengarnya maka boleh kita mengandaikan Yudhistira sebagai pelaksana Bhaktiyoga, Bhima sebagai pelaksana Karma Yoga, Arjuna dengan Jnana Yoganya Dan Krishna adalah Raja Yoganya, sedangkan Nakula dan Sahadewa sebagai badan wadah. Kematian Pandu adalah dari perbuatannya sendiri yang membunuh pikiran keduniaan. Karena memang itulah sebagai kepentingan dari rohani, tanpa materi. Tetapi karena sifat ingin menikmati kenikmatan dunia, maka sifat rohani akan lenyap dan dengan segala kekuatannya. Di sinilah kelihatan bahwa kebahagiaan itu akan dapat tercapai setelah Pandu mati, dengan segala kekuatan penyebabnya (Madrim).
Wajarlah kalau putra-putranya diserahkan kepada Drestharasta di Hastinapura atau pada dunia maya. Di sinilah, di dunia inilah ke semua anak Korawa dan Pandawa dididik. Di sini pula ke semua sifat-sifat yang ada pada diri kita dididik, dipelihara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebagaimana mestinya. Tetapi karena sifat atau mental materi yang buta akan kenyataan dan perasaan takut dari Duryodhana bila nanti putra Pandu yang lebih pandai dan mempunyai kekuatan yang tak ada tandingannya, seperti Bhima itu akan menjadi raja. Duryodhana merasa ketakutan akan bahaya yang menimpa dirinya, sebagai akibat dari keterikatannya akan apa yang sedang dimilikinya akan diambil oleh Pandawa. Hal ini juga disebabkan sebagai akibat dari kebodohannya sendiri. Dari hal-hal tadi yang berhubungan erat dengan apa yang disebutkan oleh Sad Ripu yaitu enam yang ada pada diri kita sebagai musuh yang harus segera dikalahkan (Wiswamurti).