Kehilangan kepercayaan diri menyebabkan kekosongan jiwa, tidak ada yang menyentuh hati nuraninya. Penyesalan-penyesalan akan timbul. Ciri-ciri zaman sekarang tidak ada orang yang memiliki pantes (manut dalam bahasa Bali). Mereka memandang, mendengar, meminjam dari orang lain.
Gunakanlah apa yang terdapat dalam diri itu, tidak meminjam. Di dalam hati nurani adanya kesamaan norma, yang tidak sama di luar hati nurani, inilah yang membuat pertentangan. Hati nuranilah yang membuat keseimbangan, keharmonisan sehingga manut. Jika hati nurani belum berfungsi, tidak ada artinya kehidupan ini. Ini yang menyebabkan kita tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menghormati karya orang lain, sehingga kita cepat merendahkan orang lain.
Tanpa mampu menyentuh hati nurani jika belajar ketuhanan akan gagal total. Manusia tidak mampu menghargai apa yang terdapat dalam dirinya. Lalu kepuasan apa yang dicapai? Rasa Ketuhanan baru dibibir, belum di hati. Orang ini tidak merasakan sesuatu. Lalu bagaimana kita menciptakan sesuatu pergaulan yang baik? Ini yang dikatakan “Hidup Tanpa Rasa”. Sifat ini hanya menuntut saja. Inilah perlunya mempelajari agama untuk mendapatkan rasa yang terdalam, sehingga Tuhan di buana alit dan buana agung menyatu (Ekam ewam na dwi tyam Brahman). Dengan demikian kita akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga kita bisa hidup berdampingan. Kalau dapat merasakan seperti sesonggan Bali “nguda-ngude sikut awake”. Kalau sudah demikian apa sampai hati mencela orang lain. Jika hati nurani kita belum terketuk, kita gampang membenarkan yang salah (hati belum bersih), sehingga dengan demikian kita akan merasakan.
Bersihkan hati nurani untuk mengerti persoalan. Jangan hati nurani dibutakan, sebab hati nuranilah yang menjadi radar kita. Di zaman inilah hati nurani menjadi buta (sedikit-sedikit ribut). Inilah sebabnya di dunia ini tetap ada pertentangan.