Dunia sekarang terlalu berat. Siapa yang dapat merasakan? Siapa yang tidak dapat merasakan? Bagi yang dapat, dapat merasakan ketakutan, dan sebagainya. Apa yang kita rasakan sehari-hari yang muncul dalam diri sendiri (gejolak-gejolak perasaan yang muncul). Manusia diancam oleh gejolak jiwa. Di sini tergantung pada konsep hidup kita (jalur hidup kita). Tujuan semua sama, tidak ada berusaha untuk mendapat penderitaan. Gejala-gejala itu antara lain : lupa, ingat, lupa, ingat sudah keluar bicara baru ingat, dan sebagainya. Dalam kondisi yang begini dalam diri mau bagaimana? Mengapa kita kehilangan keyakinan atau kepercayaan? Siapa yang mempengaruhi? Mengapa kita tidak percaya? Ini disebabkan karena sudah terbelenggu pada kekuatan lain.

Setelah melupakan pengalaman hidup, apakah hidup kita lebih baik? Di sinilah dunia yang mengalami begini, sehingga baru terasa sekali karena kita dibelenggu karena ketidak percayaan kita kepada diri sendiri, sebab tidak gampang menjernihkan air di kolam. Sama halnya dengan cerita “mayang kara” Rakuti mencari kesaktian “kembalilah kepada jalan lurus”, salah jalan, akibat dari lupa, rajin itu tidak ada. Siapakah yang menyebabkan? Kita tahu segala sesuatu yang membuat bahagia, susah mencapainya. Apa yang dikerjakan, hendaknya dengan keheningan pikiran. Dengan keyakinan pada Tuhan, sifat rajin serta persaudaraan, tidak akan hilang. Kehilangan semua itu disebabkan karena daya kekuatan suka serana (cerita Sukaserana menyamar menjadi kera) sifat nafsu kita dijanjikan dengan kesenangan-kesenangan. Dari sinilah awal ketidak percayaan pada Tuhan, sebab ada yang lebih dipercaya. Banyak  orang datang menasehati kita untuk tidak percaya kepada Tuhan. Mereka banyak janji-janji dan berkata pokoknya beres. Sebaiknya kita berusaha mengabdikan diri kepada Tuhan. Anggada yang dulunya percaya pada Rama, akhirnya memusuhinya (karena Rama mengajarkan macam-macam). Jika sudah terkena demikian, Tuhan dalam diri mati. Kalau sudah mencari senang sendiri akhirnya kewajiban dan tanggung jawab tidak ada. Pada akhirnya apa yang terjadi? Apa sebenarnya tujuan pokok mereka? Sebab kita dilihat dulu ada/tidak peningkatan hidup. Kalau dibiarkan orang yang menasehati tidak hidup. Kenapa kita percaya kepada mulut orang yang tidak mengalami kehidupan berketuhanan? Sulit sekali mencapai peningkatan hidup karena sifat alengka dan serakah yang muncul dalam diri. Dua faktor ini sebagai pembuat kehancuran dari suatu kehidupan. Keterlibatan hubungan bukan sebagai anak dan bapak tetapi sebagai kenalan. Di sinilah tidak ada hubungan antara, kewajiban dan tanggung jawab. Dulu, semua yang dilakukan berdasarkan satu petunjuk, sekarang seribu petunjuk. Seribu raja, satu rakyat. Inilah hidup sekarang. Semua berpikir supaya semua menjadi raja, tetapi kita sudah mempunyai raja seribu. Dari sinilah timbulnya kebingungan terhadap arti daripada hidup yang sebenarnya. Mana yang harus diikuti? Oleh karena itu, tidak memiliki suatu perencanaan untuk mejalani hidup ini. Tidak ada yang memiliki satu program dalam menuju kesejahteraan hidupnya dalam zaman yang sudah begini, belum ada menampilkan diri sebagai orang yang berhasil untuk mengamankan hidupnya.

Dalam zaman yang sudah begini, belum  ada menampilkan diri sebagai orang yang berhasil untuk mengamankan hidupnya. Siapa yang mengikuti pedoman, ia pasti akan mendapatkannya (paling dulu berada di depan). Walaupun kelihatannya merangkak.

Sifat Alengka sama dengan malas, rajah tamah, kelihatan lincah, otaknya buntu, lincah sekedar bersenang-senang, bukan lincah mencari sesuatu di jalan yang benar, pemboros terlalu tinggi sehingga lupa kewajiban dan tanggung jawab. Banyak mengalami frustasi, sebab hidup yang dicita-citakan tidak kunjung tiba. Bergengsi dalam bentuk penampilan, membunuh diri sendiri.