Apapun kehendak Tuhan akan terjadi. Pribadi manusia banyak yang tidak percaya dengan Ketuhanan. Satu-satunya cara yang beliau pergunakan adalah dengan Cadu saktinya. Beliau membuat suatu keajaiban yang tidak pernah dipikirkan oleh manusia.

Apakah manusia mengerti, ada sesuatu kekuatan yang mengatur dirinya? Manusia tidak ada artinya, di dalam hal itu. Inilah tujuan beliau, memperlihatkan keajaiban-keajaiban itu. Demikian juga dalam hal penyakit, makanan, hanya ditaruh begitu saja hilang. Demikian pula dengan usaha dagang (misalnya : barang-barang dagangan tidak laku). Jangan menganggap diri kita serba bisa/tahu.

Aliran kebathinan sekarang, tumbuh satu hilang satu, demikian seterusnya. Sifat aku (ego)  manusia sedang berhadapan dengan Atmannya (perang). Perang aku ingin membunuh, Atman ingin menyadarkan. Hampir 99,99% manusia kecewa dalam hidupnya dengan menyalahkan orang lain. Dari rasa kecewa inilah ada yang bertapa, belajar kebathinan, dan sebagainya. Ini adalah keakuan manusia. Apa itu semuanya? Apa betul dengan demikian akan menyelamatkan diri? Bhisma walaupun sakti pada akhirnya kalah. Dengan membaca cerita, kita akan mengerti. Karena sifat aku kita jadi terbius. Salya, Karna yang sakti juga kalah. Di manakah tempat menangnya kalau dilandasi oleh sifat aku? Di mana letak kebahagiaanya? Tempatnya adalah mengaku-aku. Kecewa jadinya. Sifat perilaku kita/berpikir kita tidak diakui oleh orang lain (pengakuan tidak ada) justru membawa ketersinggungan “sukak matane, selimputan matane”. Suatu ciri prilaku kita tidak mendapatkan pengakuan. Inilah yang membawa depresi jiwa/tekanan jiwa. Dari sinilah prilaku manusia overacting/ overcompensasi. Sifat aku tidak mendapat jawaban dari pihak lain. Makin takut makin menutup diri (makin penuh rahasia), sehingga prilaku manusia berpura-pura. Rasa ketakutannya, takut dianggap paling jelek, segala pembicaraannya saling menutupi sehingga berprilaku berpura-pura. Makin adanya kesenjangan hubungan sehingga dulunya akrab sekarang tidak. Hilangnya kehidupan saling mempercayai, munculnya perasaan saling mencurigai. Dari kata ini timbullah fitnah. Kehidupan manusia betul-betul  sendiri-sendiri. Kata keluarga adalah kata pemerasan, sebab kehidupan saling menutupi, saling curiga, dan saling mengharapkan. Tanggung jawab suatu alasan untuk memperlancar pemerasan. Adakah artinya hidup ini? Kalau dibelenggu oleh ketakutan dan kekecewaan? Lalu apa yang dipakai agar bahagia? Uang, kemewahan? Gedung mewah? Makanan yang enak? Ketertutupan diri yang makin kuat menambah penderitaan diri sendiri. Ini betul-betul disebut kehancuran kehidupan manusia. Apa hasil kerjanya susah untuk keselamtan dirinya/dinikmatinya? Itulah sebabnya hasil kerjanya tidak memberikan kepuasan.  Hubungan komunikasi antar sesama semakin jauh karena dibungkus oleh ketakutan-ketakutan, maka tidak ada kemampuan untuk menyelesaikan persoalan.

Manusia perlu bantuan dari orang lain, kalau ketertutupan apakah mungkin? Putusnya hubungan komunikasi, aku ya aku, dia ya dia. Sebagai manusia walaupun ada permasalahan kecil menjadi berat. Karena saling menutupi diri. Sungguh sengsara kehidupan manusia, karena tidak satupun yang memberikan kepuasan bathin. Apa tidak manusia harus menderita? Kita ingin membebaskan manusia, beliau memberikan jalan keluar dengan kata “kekeluargaan” sehingga ada ungkapan “ini dadaku, itu dadamu”. Dengan adanya keterbukaan ini, hubungan menjadi lancar, aman, tidak perlu curiga. Hubungan sesama akan penuh pengertian, demikian pula prilaku kita (ada di sini, ada di situ). Kalau sudah ini baik, tidak akan ada kesulitan, dan saling pengertian ini menimbulkan tattwamasi (aku adalah dia).