Nah marilah kita sambung lagi ceriteranya.

       Kita sekarang akan melihat lahirnya Karna. Karna dilahirkan oleh Dewi Kunti sewaktu beliau mempraktekkan mantram-mantram yang diajarkan oleh seorang Brahmana bernama Druwasa. Dengan kekuatan mantram Dewi Kunti mencipta Batara Surya. Hamillah Dewi Kunti, dan dengan kekuatan doa pula lahirlah Karna dengan tidak melalui garba.  Setelah lahir terus dibuang ke sungai dan dipungut oleh Adirata. Setelah dewasa diangkat menjadi adipati Angga oleh Duryodhana.

       Sifat dari Karna adalah mudah tersinggung, karena ia dilahirkan dengan menggunakan cipta rasa. Batara Surya adalah perlambang suatu sifat antara senang dan susah. Oleh karena itu tidak layaklah dia akan ditempatkan pada Pandawa karena Karna nantinya akan membuat malu sehingga akan menggagalkan segala etikad baik di dalam segala gerak-gerik dalam menuju Ketuhanan. Dengan perasaan, orang tidak akan mampu menemukan mana yang benar mana yang salah. Pertimbangan yang diambil selamanya akan dibawa kepada sifat keakuan. Bila pertimbangannya akan mengalahkan sifat aku, misalnya dia akan disalahkan dengan sendirinya akan pertentangan itu menjadi lain sehingga dapat menyelimuti kenyataan. Oleh karena itu wajarlah sifat itu harus dibuang dan serahkan saja pada pelayan keagamaan (Adirata). Dengan demikian dapatlah dimanfatkan perasaan aku itu dan hendaknya tidak ditempatkan pada pemikiran yang memerlukan pertimbangan akan kebenaran dan kenyataan. Sebab bagaimana juga cara kita memberikan kebenaran, bila akan merugikan harga dirinya tentu ia akan memperjuangkannya, malah sampai mati sekalipun. Oleh karena itu hendaknya jangan dilawan dengan kekerasan tetapi harus tahu kelemahannya sendiri. Bila hal ini (perasaan Aku) dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya maka selama hidup tidak akan menemukan apa yang dinamakan kedamaian abadi. Singkirkanlah dia jauh-jauh. Setelah dapat disingkirkan dari diri kita atau dapat kita menguasainya dengan pemikiran yang bijaksana barulah akan berhasil  dalam menuju hidup yang tenteram abadi. Tetapi bila kekuatan itu tidak menyangkut perasaan harga diri dengan sesama, hanya untuk kebesaran Tuhan maka dia tidak akan merasakan dirinya direndahkan. Oleh karena itu wajarlah kalau hal itu dibawa kepada arahnya dalam agama. Dan pasti berhasil (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik  Bayi ini?, oleh I.N. Sika WM, 1975).