Begitu juga Pandawa setelah selesai mengadakan pertemuan perlu juga diadakan Pitra Yadnya guna menghormati pahlawan-pahlawan Pandawa yang gugur di medan perang, seperti Abhimanyu, Gatotkaca, Arya Seta dan semua yang menjadi korban Aswatama. Mereka bersama dengan ibunya Dewi Kunti mengunjungi sungai Gangga. Setelah mengadakan sesaji, Dewi Kunti menceritakan perihal Karna sebagai saudara tua Pandawa, mendengar keterangan Dewi Kunti, Yudhistira sangat menyesali ibunya dan dirinya sendiri telah membunuh saudaranya sendiri. Dalam keadaan yang demikian datanglah Bagawan Wyasa, dan Hyang Narada. Bagawan Wyasa menerangkan hal itu adalah sudah takdir Dewata dan tak perlu dibicarakan lagi.

Di sana kesempatan bagi Yudhistira untuk mengatakan kepada Bhagawan Wyasa, mengapa kematian Karna didahului oleh roda keretanya harus terbenam. Bhagawan Wyasa menerangkan riwayatnya secara panjang lebar, antara lain karena dia mengaku Brahmana. Ke dua dia mencuri sapi seorang Brahmana. Karena itu dia mendapatkan kutukan agar nanti dalam peperangan supaya keretanya terbenam, dan pada waktu itulah dia nenemui ajalnya. Walaupun demikian Yudhistira berkeras kepala untuk mengundurkan diri  dari jabatannya, namun atas desakan Krishna, dan para yang hadir, Yudhistira mau kembali memangku jabatannya sebagai Raja. Setelah itu Bhatara Krishna kembali pulang. Sampai di sini saya akhiri dahulu, dan saya akan mencoba mencari apa yang terkandung di dalam cerita itu sebagai pedoman.  Setelah saya mengikuti Pandawa mengadakan selamatan ke sungai Gangga dapat saya mengambil pedoman dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam diri.

Seperti juga Drestharastra juga mengadakan Pitra Yadnya. Hal ini tak perlu saya jelaskan lagi. Sungai Gangga merupakan simbul dari Amertha. Yang menarik saya adalah pertanyaan Yudhistira mengenai soal Karna. Karna adalah sifat yang mudah tersinggung, karena terlalu perasa sekali. Bila dalam mengadakan penyatuan diri dengan Tuhan (Yoga) akan sulitlah bila membiarkan sifat tersinggung itu akan tumbuh dengan subur. Sifat tersinggung disebabkan harga dirinya dipukul atau direndahkan. Bila dia (Karna) masih hidup dan berada di Pandawa sebagai saudara tua terang dia yang menjadi Raja. Kalau sifat aku yang tak mau direndahkan menjadi Raja, terang dan pasti kesadaran tidak akan menang. Karena sifat aku akan selalu membagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang tidak disenangi dan kelompok yang disenangi. Sedang Yudhistira membawa sifat dharma dengan penuh Tattwam Asi, tidak membedakan yang satu dengan yang lain. Ahamkara kryaning beda, karena sifat aku yang membuat perbedaan. Tatwam Asi adalah perlambang jiwa dan sifat ke Tuhanan atau Dharma. Oleh karena itu dengan kekuatan yang dibarengi oleh pikiran yang luhur mengatakan itu sudah takdir Dewata. Artinya suatu yang harus demikian, bila orang dapat berpikir yang bijaksana dan terang. Di sinilah suatu paradoksa. Yudhistira tidak menyadari sebelum dia berhasil dalam pelaksanaan yoganya sebagai seorang Bhakti yoga. Apakah mungkin, bila Karna masih hidup, atau kalau dia tidak dibuang oleh ibunya akan berhasil dalam usahanya menjalankan Bhakti yoga. Sedang dulu saja sudah dapat ditipu oleh Duryodhana melalui Sakuni, yang secara tidak sadar karena mempertahankan harga dirinya. Ke dua pernah ditipu oleh Brahmana Siluman. Oleh karena itu kelirulah kalau dia sampai mengundurkan dirinya dari jabatannya, yang hanya oleh karena kematian Karna sebagai saudara tuanya.

Namun setelah kekuatan Tuhan, Ilmu ke-Tuhanan dan pikiran-pikiran luhur muncul dalam dirinya barulah dapat menyadarinya. Dengan Bhakti Yoga semuanya akan dapat tentram, karena tak akan mungkin berpikir yang berat sebelah, sebagai pelaksana dari jiwa ke Tuhanan yang murni dan menyeluruh. Dari Bhakti Yoga barulah ada Jnana Yoga bagi yang kuat berpikir, dan Karma Yoga yang aktif bergerak. Nah perlu sedikit saya mengambil kata dalam Bhagawad Gita yang menerangkan : Dari dulu sampai sekarang aku hanya mengajarkan untuk melakukan Yoga, dengan Ilmu Pengetahuan (Jnana) bagi yang kuat berpikir, dan berbuat (Karma) bagi yang aktif.

Sifat perasaan aku sering mengaku aku yang lebih tinggi dari yang sebenarnya, karena merasa dirinya dianggap rendah, atau kalau dia tidak boleh. Dia akan mengaku selalu lebih tinggi, agar dia dipercaya, walaupun berbohong sekalipun. Namun tetap kentara. Begitu juga berani melanggar kebenaran. Berani melakukan pencurian, karena iri hati melihat orang lain lebih makmur. Untuk kepentingannya sendiri dia tak segan-segan melakukan tindakan yang salah. Demi kepentingan hidup (pengisi hidup jasmani) dia melakukan pencurian, karena selalu terpengaruh oleh hal-hal yang mereka perlukan. Jadi pantaslah dia mendapat kutukan agar pada waktu peperangan keretanya akan terbenam dan membawa kematian. Dengan materi dunia, akan dapat mengalahkan harga diri itu. Harga diri akan dijual dan tidak diperhatikan bila kepentingan dirinya dipenuhi. Asalkan saja sekarang karena uang, orang akan menjual kehormatan dirinya. Oleh karena itu tak pantas hidup di Pandawa dan malah harus dibunuh juga. Hanya sekian yang dapat saya berikan dan akan saya lanjutkan dengan ceritanya lagi (Wiswamurti)