Itulah sebagai bahan dalam berpikir agar dapat hidup tentram. Tinggal Duryodhana. Marilah saya ajak melihat akan kebingungan Duryodhana, setelah kehilangan panglima-panglima perang yang diharapkan untuk dapat menolong menegakkan kerajaan Korawa. Prajurit Korawa terpilih hanya tinggal 3 orang, Krepa, Aswatama, dan Karthamarma. Duryodhana meninggalkan medan pertempuran dan bersembunyi dalam telaga. Demi melihat Duryodhana. meninggalkan medan, ke tiga prajuritnya mencari dengan diikuti oleh Sanjaya. Ke tiga orang tadi mengajak, agar pertempuran dilanjutkan. Namun Duryodhana menolak dengan alasan sudah lelah. Orang-orang yang kebetulan mendengar percakapan tadi, antara Duryodhana dengan ke tiga prajurit Korawa tadi melaporkan pada Pandawa. Para Pandawa segera menuju tempat itu dan mendekatinya. Yudhistira mengajak untuk berperang. Terjadilah tanya jawab antara Yudhistira dengan Duryodhana. Duryodhana menolak dengan alasan bahwa dia telah lelah dan perlu mengaso. Ke dua segalanya telah rusak, dan dia dengan rela akan masuk hutan. Seterusnya Duryodhana dengan rela menyerahkan kerajaan Hastina kepada Yudhistira. Ke empat dia tak mungkin akan melawan musuh yang lengkap dengan persenjataannya. Bila Pandawa suka maju satu persatu, Duryodhana akan mau berperang.
Demi mendengar kata-kata itu, Yudhistira menyanggupinya dan akan memberikan senjata. Bhimalah sebagai lawannya. Pertarungan antara Bhima melawan Duryodhana diadakan di Tegal Kuru Kestra dengan perang tanding yang disaksikan oleh Baladewa. Perjanjian yang diadakan bersama-sama tak boleh memukul sebelah bawah pinggang. Pertarungan sengit sekali. Ke dua-duanya sama kuat dan ahli. Bhatara Krishna demi melihat keduanya tak ada yang kalah dan menang, memberikan isyarat agar Arjuna menepuk paha kirinya. Setelah Bhima melihat Arjuna menepuk paha kiri, segeralah Bhima memukul paha kiri Duryodhana. Rubuhlah Duryodhana. Demikian Duryodhana rebah, Bhima segera mendekati Duryodhana dan memperingatkan, pada waktu memberi malu Drupadi, menepuk-nepuk paha kiri. Dan juga menginjak kepala Duryodhana. Yudhistira marah melihat tindakan Bhima lalu memperingatkan akan tindakannya, karena Duryodhana adalah saudara tua, walaupun dia sebagai musuh. Baladewa marah, dan akan memukul Bhima, namun dapat dicegah oleh Krishna, dengan menjelaskan duduk persoalannya. Bhatara Krishna mendekat dan mempersalahkan Duryodhana, sebagai penyebab terjadinya perang Bharata Yudha dan hancurnya keluarga Kuru. Duryodhana menjawab, bahwa dia telah puas. Kepuasannya disebabkan apa yang dicita-citakan telah tercapai. Dia tolak menjadi raja besar yang dihormati, dan kawan-kawan yang dicintainya telah hancur bersama dia sendiri. Walaupun Pandawa menang dengan menerima kerajaan yang telah rusak binasa. Hastina menjadi hak Pandawa. Pada waktu itu Duryodhana masih hidup. Setelah Pandawa pulang ke pesanggrahan, Krishna memperingati Arjuna agar turun dari keretanya, lalu diikuti oleh Bhatara Krishna sendiri. Demikian Bhatara Krishna turun kereta menjadi abu dan simbul kera putih pada bendera Arjuna hilang. Melihat keajaiban itu Arjuna bertanya. Bhatara Krishna menjawab, selama kereta ini aku naiki dia tidak akan hancur. Sebenarnya dulu telah hancur kena panah sakti anugerah Dewa. Demikianlah kesaktian Bhatara Krishna yang menjadi pemimpin dan pelindung para Pandawa. Selesailah perang Bharata Yudha itu.
Setelah kita sama mengetahui dan membaca gugurnya Duryodhana maka tamatlah perang Bharata Yudha di Tegal Kuruksetra. Tinggal sekarang mencari apa yang terkandung didalamnya.
Duryodhana sebagai kakak tertua yang menjadi Raja Hastina. Kakak tertua di Hastina mengandung maksud bahwa keterikatan akan materi (dunia), adalah merupakan dorongan jiwa yang pertama, semenjak lahir. Tanpa dorongan itu tak mungkin akan dapat hidup. Pergi bersembunyi di telaga atau pergi menyelinap dengan kepentingan karena masih hidup. Yang perlu materi untuk mempertahankan hidup. Namun pandangan sifat licik itu muncul dalam pelaksanaan Trikaya. Kerthamarma sebagai alat untuk kepentingan kepuasan nafsu. Bhima sebagai sifat tidak terikat. Sifat terikat dan tidak terikat bertempur mengadu kekuatan. Sumber kekuatan menyaksikan (Baladewa). Pengendali kebenaran (Krishna). Kebijaksanaan yang benar dapat memberikan keharusan bertindak daripada sifat beramal menyalahkan materi (paha kiri) dengan secara paksa. Dengan kekalahan keterikatan itu berarti telah tergantinya kekuasaan pada materi, namun dharma si pemegang kewajiban hidup menjadi marah atas tindakan Bhima menginjak kepala Duryodhana.
Inilah suatu tindakan keliru yang diperbuat oleh Bhima. Sifat-sifat beramal, agar jangan seperti Bhisma, maka wajarlah kalau Dharma itu sendiri akan menyalahkannya. Sifat keterikatan harus juga mendapatkan penghargaan. Berarti keterikatan itu menyebabkan adanya daya tarik untuk selalu berusaha akan mendapatkan materi. Dengan materi yang ada barulah dapat beryadnya dan juga untuk mempertahankan. Kepala adalah kehormatan. Benarlah bila Dharma marah dan memberikan peringatan kepada Bhima.
Dengan kekalahan sifat menerima (ketergantungan), ilmu pembinaan hanya untuk kepentingan diri sendiri (duniawi) tingkah laku/usaha yang tidak baik, perasaan mudah tersinggung dan berprasangka (sifat keakuan), perasaan ingin berkuasa, untuk menikmati dunia sebagai pemenuhan nafsu indria, lenyapnya sifat keterikatan akan materi sebagai penyebab kesengsaraan lahir bathin. Setelah sifat keterikatan itu lumpuh, kebahagiaan di ambang pintu dengan Yudhistira masuk surga.
Seperti yang diceritakan, tinggal masih tiga orang. Bila semua sifat yang tersebut atau yang dibawakan Bhisma sebagai wadahnya, Drona dengan pengetahuan yang pamerih, Jayadrata dengan kekuasaannya serta keagungannya, Dussesana dengan tindakannya yang salah, Karna hanya untuk mempertahankan harga diri, Salya yang terikat akan kenikmatan dunia, gugurlah Duryodhana yang membawa lenyapnya kekayaan yang didapat dengan jalan tidak baik.
Namun tak usah saya ulas terlalu panjang, karena Duryodhana sudah dijelaskan di muka dengan panjang lebar. Krishna sebagai tenaga atau jiwa dari wadah ilmu pengetahuan dengan pikiran kesucian (kera putih).
Setelah selesai dengan Bharata Yudha, dan bila ada waktu dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa mengizinkan akan saya lanjutkan dengan Yudhistira menjadi Raja, sampai akhir cerita dari Maha Bharata yang menjadi pedoman saya (Wiswamurti).