Setelah ke empat Rsi mengunjungi pertapaan Drestharastra, tibalah giliran Raja Pandawa untuk berkunjung. Yudhistira karena selalu teringat akan ibu serta Raja Drestharastra dan Dewi Gendari, memberitahukan maksudnya akan mengunjungi mereka di hutan. Para Pandawa setuju, karena merekapun telah merasakan kerinduannya. Keesokan harinya merekapun berangkat. Untuk menjaga kerajaan Hastina diserahkan pada Yuyutsu dan Bhagawan Domya. Berangkatlah Pandawa dengan semua isterinya, seperti Drupadi, Subadra, Ulupi dan Dewi Citranggada putri Raja Manipura, Dewi Balwara adik Dresthaketu (isteri Bhima), Dewi Retupati (puteri Nakula), Dewi Utari (janda Abimanyu), dan para janda lainnya dari Korawa. Mereka berbondong-bondong, berduyun-duyun mengunjungi sang pertapa. Dalam beberapa hari berjumpalah mereka di hutan dengan sang pertapa. Mereka dijamu dengan buah-buahan. Hanya Sahadewa tidak turut dalam perjamuan karena dititahkan mengunjungi Dewi Kunti yang kebetulan tak ada di sana. Setelah Pandawa mengetahui keadaan ibunya, barulah mereka kembali ke pertapaan Destharastra. Para pertapa menanyakan nama Pandawa satu persatu pada Sanjaya. Setelah selesai bersabdalah Drestharasta yang isinya antara lain, menanyakan apakah selama berpisah itu, Pandawa serta negeri dalam keadaan baik. Dan juga dikatakan bahwa Widura sedang bertapa di mana badannya sedang kurus kering. Mendengar sabda Drestharastra, Yudhistirapun menjawab. Dengan keterangan Yudhistira berkat doa restu beliau, Pandawa dan rakyat beserta negeri dalam keadaan aman sentosa. Setelah itu Pandawa pergi ke tempat pertapaan Widura, Raja Widura kelihatannya seperti orang mati, dan bersandar pada pohon kayu yang besar. Setelah berulang kali Yudhistira menegur, namun tak ada jawaban, maka Yudhistira mengira bahwa Widura betul-betul sudah mati. Demikian dia memerintahkan untuk mengambil kayu api, datanglah suara yang memberikan petunjuk agar Widura tidak dibakar. Suara itu juga mengatakan bahwa Widura tidak mati, dan andaikata dibakar tidak akan terbakar oleh apa-apa. Mendengar suara itu Yudhistira kembali dan sambil memberikan yadnya kepada para Brahmana di pertapaan. Sebelum pulang ke Hastina, Pandawa kembali lagi ke pertapaan Dewi Kunti, Gendari dan Drestharastra. Di sana pula Yudhistira mengadakan Rsi Yadnya sebanyak-banyaknya. Namun Bhima mengintai juga. Setelah perjumpaan itu semua menjadi sedih, karena terkenang kembali keadaan sebelumnya. Namun semua tidak bisa berkata apa-apa. Semua diam. Datanglah Bhagawan Wyasa. Bhagawan Wyasa menerangkan kepada Drestharastra bersedih karena kedatangan Pandawa, teringat kepada anaknya Citraangga, Ulupi teringat akan kakekmu yang mati. Dewi Gendari sedih karena telah enam belas tahun menahan kesedihan akibat dari hilangnya putra-puteranya.
Bhagawan kembali menasehatkan, bahwa semuanya bersedih, namun tak ada gunanya memikirkan yang telah terjadi. Setelah memberikan nasehat, ke semuanya yang hadir disuruh mandi ke sungai Gangga, dan setelah itu akan dapat melihat hal-hal yang tak pernah dilihat (ghaib). Merekapun melakukan sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Karena terlalu panjang ceritanya, terpaksa saja saya potong agar dapat saya menghubungkan dan tidak banyak yang terlupakan.
Sekarang saya akan mencoba, menjelajahi kepergian Pandawa ke hutan. Juga mengapa semua isteri maupun janda yang dikerahkan ? Menurut penilaian saya tiada lain dari Pradhana dan Purusa. Pradhana adalah ibu, dan Purusa adalah Bapak. Pradhana adalah dunia (jagat), sedang Purusa adalah yang menjiwainya. Drestharastra adalah sifat Pradhana. Oleh karena Drestharastra adalah mempunyai unsur yang Pradhana maka jelasnya harus diberikan sifat dunia yaitu janda-janda Korawa yang telah ditinggalkan suaminya di medan perang. Dengan itu yang datang adalah benda-benda mati tak berjiwa, dan melihat jiwanya telah diambil kebijaksanaan (kesadaran), dengan sendirinya di sana akan timbul perasaan antara suka dan duka. Suka karena kedatangan para janda Korawa, benci melihat Pandawa yang menyebabkan tewasnya Korawa. Begitu juga Gendari yang memberikan jalan pemuasnya, dengan berkata 16 tahun mengalami kesedihan, tiada lain dari sifat lobanya akan materi dunia, dan dengan angkuhnya menonjolkan keduniawiannya (ingat sapta timira) sehingga terus menerus mengalami kesedihan. Bila itu saya ikuti, mengapa pula Sahadewa dan Kunti harus berpisah. Karena konsentrasi pikiran serta tenaga yang ada telah terpisah dari jiwa materi, tentu merupakan benar-benar benda mati. Kunti boleh juga saya maksudkan dengan idep. Bila idep telah tidak ada, tenaga juga tidak ada, bolehlah saya menganggap seperti mayat. Begitu juga dengan Widura yang kelihatannya seperti mati, namun masih hidup. Widura yang selalu berat sebelah (pincang) dalam memberikan pertimbangannya. Bila kesadaran telah ada sifat yang berat sebelah tidak akan mendapat tempatnya, walaupun dia ada namun boleh juga dianggap tidak ada. Namun tidak dapat dibakar, berarti tiada satu kekuatan yang dapat mengalahkannya, karena selalu nanti kelihatannya akan dapat berat sebelah, hanya kebijaksanaan yang tahu (suara ghaib).
Tetapi menurut pendapatnya Bhagawan Wyasa tak usah menyesali sesuatu yang telah berlalu dan tak ada gunanya. Inilah yang dapat saya suguhkan dari cerita diatas. Mengenai Yuyutsu adalah jiwa atau kekuatan jiwa dalam kebenaran. Sehingga yang menjaga agar jangan rumahnya Hastina adalah suatu kejujuran dalam melaksanakan kebenaran agar tetap terpeliharanya kehidupan yang damai. Di sana banyak sekali disebutkan nama istri Pandawa seperti Drupadi si pembimbing kehidupan dunia yang baik, Subadra dengan kekuatan yang suci, Ulupi dengan wiweka yang bijaksana, Citranggada dengan tenaga yang melakukan kerja dengan gembira, Balawara dengan keinginan yang tanpa pamerih, Ratupati agar badan tetap menjadi sehat, Utari dalam menegakkan iman. Juga ikut isteri Korawa, dengan materi yang ada. Bila melihat harta benda yang disangka dapat menolong, namun harta benda adalah benda yang mati, setelah mengetahui kebijaksanaan penggunaan kerja yang akan mendapatkan materi itu, hanya sakedar sesuatu alat yang mati. Setelah melihat sifat-sifat yang dibawakan isteri Pandawa dalam usaha menegakkan iman, dan hanya untuk mempertahankan hidup, untuk melakukan karma-karma baik untuk menuju kebahagiaan lahir bathin. Kalau demikian tak salahlah kalau usaha mencari materi harus dilaksanakan dengan penuh kegembiraan dan bukan dipakai alat pemuas nafsu, yang akan memberi kebingungan yang menuju kesengsaraan. Setelah saya menyuguhkan gambaran ilustrasi kasar mengenai suka duka akibat materi (harta benda), saya lanjutkan dengan lanjutan ceritanya (Wiswamurti).