Berpikir adalah sebagai lambang Bhagawan Vyasa, yang menulis Weda ini. Jelek berjumpa dengan baik akan melahirkan Bhagawan Vyasa. Jelek itu yang mengajar kita (menyebrangkan orang/sebagai pelayan), yang pada akhirnya diberikan penyupatan oleh Rsi Parasara. Badan itu kita supat, atma membawa baik sehingga masuk ke Puri Durga (sifat jelek) melahirkan Andama (kelahiran yang berada di bawah). Badan itu suka menuntut sehingga membawa jelek (membuat namanya jelek). Oleh karena itu badan ini harus melakukan pengabdian (bekerja tanpa pamrih). Biasanya badan ini tidak mau kerja (malas). Badan ini yang diajarkan untuk mengabdikan diri selaku tukang perahu (kepada kepentingan orang).  Kalau badan ini tidak melakukan pengabdian tetap dianggap jelek, setelah bekerja tanpa pamrih maka datang yang menyucikan diri (Parasara = tirta).

Setelah bekerja dan bekerja terus maka timbullah suatu rasa sehingga timbul pula pikiran. Dengan bekerja akan menyelamatkan perasaan yang nyaman. Pengabdian dikaitkan dengan hubungan antar manusia. Dengan bekerja dan dengan adanya pengalaman kerja akan mendapatkan kenikmatan, dari kenikmatan akan menimbulkan  berpikir yang diawali dengan renungan. Orang berpikir harus di tengah-tengah (di belahan sungai/di tengah-tengah kehidupan kita, lahirlah berpikir). Artinya harus tau inti dari pada kehidupan. Kalau berpikir harus dilihat dari segala segi/aspek. Jangan melihat dari satu segi saja. Kehidupan ini gelap tidak terbayangkan (Krishna Dwipayana). Dan siapa yang berpikir akan menemukan itu. Kehidupan ini serba rahasia tidak ada seorangpun yang tahu, semua main kira-kira. Untuk tahu itu kita harus melihat dari segala aspek/segi.

Semua orang memiliki keperluan, oleh karena itu berkembanglah pelaksanaan dalam tata kerja, jangan memihak, tetapi kerja. Hubungan antar manusia saling berkepentingan. Dengan bekerja menemukan tirta kamandalu, sekarang tergantung model kerjanya, sehingga akan dapat menghilangkan bau busuk. Ucapan orang lain akan terbalik, dari jelek menjadi baik.

Vyasa adalah penyelamat umat manusia  (kata  Vyasa = Pengarang).Ajaran Vyasa diteruskan oleh Wesampayana (we = kehidupan). Untuk memperbaiki kehidupan yang jelek menjadi baik. Vyasa akan dapat menyelamatkan seluruh kepentingan kehidupan.

Hastina diturunkan melalui turunnya Vyasa. Putra-putra Vyasa itu adalah :

  1. Drestarastra : gugon tuwon (tradisional), anaknya Duryodhana.
  2. Pandu : kerohanian melulu, tidak berani apa-apa.
  3. Widura : Pincang.

Dari ketiga itu, mana yang benar? Oleh karena itu harus berani berpikir. Harus tabah dan pasrah melaksanakan, bagaimanapun sulitnya berpikir. Kalau tidak berpikir akan terseret ke sana-ke mari. Hidup kita yang demikian tidak jadi apa-apa. Ini yang disebut sistem Ngaula. Kalau mau berpikir akan tahu hubungan kepentingan kita.

Untuk menemukan Jaen (Bahasa  Bali), memerlukan berpikir (penggabungan ukuran). Dengan pengalaman itu akan dapat menemukan kepuasan hidup. Dari pengalaman kerja akan menemukan yang sebenarnya. Dari pengalaman itu akan menimbulkan berpikir, dan dari perpikir akan menemukan  pas.

Pendapat-pendapat timbul karena adanya pengalaman seseorang. Oleh karena itu apapun pekerjaan itu harus dicoba. Dengan pengalaman itu akan menemukan berpikir, jangan berdasarkan mula keto. Tanpa pamrih bukan berarti tidak boleh menerima, yang dimaksud tidak memikirkan hasilnya, tetapi pekerjaan yang dipikirkan orang yang tanpa pamrih adalah orang yang akan berhasil, sehingga dapat meningkatkan pekerjaannya. Tanpa pamrih = berapapun hasilnya diterima. Jika badan tanpa pamrih, sang atma akan puas. Agama Hindu mengajarkan, bagaimana  manusia itu hidup sehingga keseluruhan hidup mencapai kepuasan.

Badan kita dilambangkan dengan Durghandini (jelek), tempatnya di bawah. Durghandini berganti nama menjadi Satyawati = kedisiplinan hidup. Disiplin di dunia akan menimbulkan keharuman (Sayojanagandi).

Inti berpikir adalah mengembangkan diri dari yang tidak baik (jelek) menjadi baik. Berlindung pada Krishna akan mendapatkan pengayoman. Sedangkan Vyasa berfungsi untuk meningkatkan kualitas, untuk mengetahui segala sesuatu persoalan.

Puas, jaen disebut Kertha (ingat semuanya). Kita memiliki suatu teori kehidupan yang lengkap. Ada ungkapan bahasa Bali : “anak memogol nyungklit keris, melalung mekamben bungah, ya gundul mebok samah”. Siapa yang mengetahui arti ungkapan tersebut dialah yang mengetahui hidup yang sebenarnya. Itulah filsafat Hindu yang sebenarnya, yang dilahirkan oleh Buta Wetala