Lain halnya Raja  Basuparicara. Istrinya adalah Girika yaitu iman yang teguh seperti gunung yang tak goyah oleh suatu gangguan, untuk dapat mencapai kesadaran sehingga dapat membebaskan dirinya dari kelahiran kembali. Dari anak yang kelahirannya tak terduga akibat daripada suatu ingatan akan keinginan yang perlu mendapat pemuasan lahiriah Dewi Durgandini dan Matsyapati.

       Mengapa saya nyatakan suatu kelahiran yang tak terduga ialah tak lain di mana Raja Basuparicara pada waktu berburu di hutan dan pada waktu itu dia ingat akan istrinya Girika sehingga menimbulkan suatu keinginan untuk hidup berkumpul. Dengan tidak disadarinya sperma (benih lelaki) keluar dengan sendirinya. Melihat kenyataan itu maka sperma yang jatuh itu dipungut dan diberikan pada seekor burung untuk membawanya. Namun sayang, begitu melewati sungai Yamuna sperma itu jatuh dan dimakan oleh seekor ikan besar.  Ikan itu ditemukan oleh seorang juru pencar (penangkap ikan) yang bernama Dasabala.

      Dari ikan itu lahirlah Durgandini dan Matsyapati. Durgandini  adalah seorang anak perempuan yang berbau amis sehingga untuk pemeliharaannya  diserahkan kepada Dasabala. Sedangkan Matsyapati karena roman yang sangat tampan dipelihara di istana dan dididik langsung oleh Raja Basuparicara. Setelah Durgandini diserahkan kepada Dasabala, Durgandini disuruh melakukan pekerjaan menjadi tukang sampan di Kali Yamuna. Bagawan Parasara menemukanya, dan langsung melamarnya. Namun sebelum dijadikan isteri, diobatinya lebih dahulu sehingga bau amisnya telah berganti dengan bau harum semerbak, dan namanya diganti  dengan nama Diah Satyawati Sayojanagandi. Setelah itu barulah diambil menjadi isteri, dan lahirlah Bhagawan Wyasa.

       Bila kita menanggapi sampai di sini dulu, kita akan dapat mengambil suatu yang tersembunyi dari nama-nama  yang tersebut tadi. Tubuh kita ini tidak terdiri dari hanya yang kelihatan sebagai jasmani saja tetapi seperti apa yang diajarkan bahwa tubuh kita ini  terdiri dari dua (dwi sarira) yaitu badan wadah (jasmani = stula sarira) dan badan halus (suksma sarira-roh). Dengan melihat dari pengetahuan akan roh  maka akan dapat kita menanggapi bahwa badan suksma itu tiada lain daripada  apa yang disebut Citta. Citta itu tiada lain dari pada karmawasana atau sering juga disebut cubha-acubha karma . Atau lebih jelasnya tiada lain daripada apa yang disebut pahala dari karma-karma, baik yang sekala ataupun niskala, lahirlah dan rohaniah. Jadi jelaslah apa yang dibawa oleh Durgandini itu tak lain daripada citta atau karmawasana yang tidak terpuaskan. Inilah yang menyebabkan bau busuk. Itu berarti  bahwa tiada seorangpun akan senang kepadanya. Tiada seorangpun  akan senang kalau semua hasil karma-karma yang mereka perbuat akan mendapatkan pahala yang tidak baik, sebab merupakan bibit permulaan adanya kelahiran kembali ke dunia. Itu pula yang menyebabkan adanya penderitaan. Namun tiada seorangpun yang dapat melepaskan dirinya dari padanya. Begitu juga apa yang dibawa oleh Durgandini.  Oleh karena itu pula yang menjadi sebab diserahkannya kepada Dasabala. Dasabala ialah dasendrya yang menyebabkan adanya dasa mala.  Indria kita yang ada itu yang berjumlah sepuluh yang menyebabkan adanya penderitaan, berupa suka duka yang akan berkumpul pada citta. Citta yang menyebabkan adanya tumimbal lahir terus menerus. Walaupun demikian, sesuatunya itu akan dapat ditebus dengan amal bhakti yang secara tekun dengan tidak mengharapkan akan pahala (tan pamerih), dalam menyelamatkan orang lain.

      Begitulah apa yang dapat kita ambil dari teladan yang diberikan oleh Durgandini agar kita mau melebur dosa-dosa yang membuat penderitaan hidup ini dengan karma-karma baik yang dilandasi oleh pikiran bhakti yang tulus ikhlas di dalam menolong orang-orang yang benar-benar memerlukannya. Dengan cara itu akan dapat menyelamatkan orang lain tanpa pengharapan pembalasan. Dengan pekerjaan menyeberangkan orang lain sebagai nelayan akhirnya dia akan dapat berjumpa dengan Parasara sebagai penolong dirinya dari bau amis dan akan berakhir dengan bau harum semerbak yang menjadi idaman setiap insan dengan nama Diah Satyawati Sayojanagandi. Di samping itu juga dapat menemukan suami yang suci dan yang dapat melahirkan  seorang putra yang dihormati  yaitu Wyasa. Oleh karena itu hendaknya janganlah kita merasa ragu-ragu akan diri kita sekarang, walau bagaimana juapun keadaannya, terhina sekalipun. Bila mau akan memperbaikinya tiada lain dengan bekerja giat dan tekun serta dengan senang hati melakukan pengorbanan (Yadnya) dengan tidak mengikatkan diri pada pahalanya terlebih dahulu, dengan sendirinya semua penyebab dari penderitaan itu akan lenyap dan akan berganti dengan suatu kehidupan baru yang penuh dengan kesejahteraan lahir bathin, sehingga menimbulkan suatu kekuatan baru untuk ingin hidup terus. (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik  Bayi ini?, oleh I.N. Sika WM, 1975)