Kita semua mempunyai badan (Anggada, angga) dan keinginan serta berpikir untuk memberi kesejahteraan dari badan. Anggada adalah anak dari Subali. Sedangkan Subali sendiri merupakan titisan Sang Hyang Kali (keterikatan pada benda-benda lahiriah). Sang Hyang Kali lahir sebagai Subali (pikiran-pikiran material) dan Rawana. Pada akhirnya Dewi Shita diambil oleh Rawana (kesejahteraan diambil oleh keserakahan). Orang yang serakah tidak mau mendengar apa-apa. Bagian dalam dari dirinya adalah Wibisana, tersiksa. Subali dan Sugriwa memperebutkan Dewi Tara (kehidupan yang nyata). Perkelahian antara Subali dan Sugriwa berarti pikiran terombang-ambing mana yang benar. Apakah saya harus memenuhi unsur lahiriah/rohaniah saja. Manusia telah kehilangan kesejahteraan, lalu mengejar Shita hanya dengan bakti. Jelas tidak mungkin jika tanpa usaha (perjalanan dalam 18 tahun). Pada saat inilah baru dipilih apakah memenuhi unsur lahiriah/rohaniah. Pergulatan/pertengkaran terjadi dalam pikiran manusia. Dalam keadaan inilah muncul hati nurani (indra ke-enam). Hati nurani merupakan suatu keputusan yang tidak bisa dicari mengapa diputuskan demikian. Inilah yang dimaksud dengan SUARA TUHAN. Suara Tuhan pernah kita dapatkan tetapi mengapa menolaknya? Penolakan tersebut terjadi karena kurang penghayatan. Sifat ingin dibanggakan oleh orang lain harus dibunuh. Pentingnya keselamatan sebagai tujuan utama. Orang-orang yang ingin menemukan dirinya terpaksa mengadakan hubungan dengan Tuhan secara sendiri-sendiri. Ke Pura merupakan suatu kebersamaan.

       Setelah itu barulah akan lahir semangat baru. Barulah kita mengetahui  di mana sebenarnya kesejahteraan itu tersembunyi. Lalu berpikir, sebagai akibat dari suara hati. Pekerjaan apa yang harus saya lakukan untuk mengembalikan kesejahteraan itu? Tempat kesejahteraan itu ”nun jauh di sana” (di seberang lautan/Alengkapura). Kesejahteraan akan ada dengan jalan sayembara (usaha sendiri). Kalau kita sadar sulit rasanya kesejahteraan itu diberikan kepada orang-orang yang serakah. Maka di Alengkapuralah tempat bertemunya Shita dan Anoman (utusan Rama). Anoman mengobrak-abrik jagat Alengka dan menantang agar dia tertangkap. Anoman berani berbuat demikian karena tahu tidak akan mati. Anoman adalah utusan Tuhan. Api yang dipergunakan membakar Anoman justru membakar Alengkapura itu sendiri. Dalam hubungan bermasyarakat jika mampu menahan marah dari orang lain justru kemarahannya itu akan membunuh dirinya sendiri.

       Setelah hancurnya Alengkapura  Anggada dikirim agar mau berdamai dengan Rawana untuk menyerahkan Shita (Anggada = sifat  badan yang baik).

Dari cerita Anggada yang kena tipu, justru yang harus memberikan nasehat akhirnya dinasehati untuk mau berbuat acak-acakan. Nafsu kita dikembangkan, rasa Ketuhanan dibenci. Mutu sekolahpun hancur berantakan karena pengaruh cerita tadi. Anggada yang kena tipu akhirnya  menyerang Rama (Ayodya). Begitu Anggada menyerang Rama para dewata dan kera-kera marah. Aggada akhirnya tertangkap. Artinya, segala keinginannya kosong dan untung saja tidak mati. Kalau mati bagaimana?

       Maukah Anggada menjadi jembatan, sehingga Dewi Shita dapat diambil kembali? (mengembalikan  kehidupan yang telah hilang agar bisa menemukan masa depannya yang telah sirna?  Tanpa landasan bakti kesadaran jiwa tidak mungkin akan muncul. Dengan bakti pula munculnya rasa indah, kerukunan, sifat sentosa (catur dharma). Inilah titik awal untuk menemukan kesejahteraan dan merupakan titik awal pula untuk menderita sakit dada/kepala bagi yang biasa serakah. Kalau tidak ingin pusing SADARILAH semua ini.

       Apa yang kita lakukan dalam menemukan kembali  yang hilang? Satu-satunya jalan dengan perjuangan dan pengorbanan. Sesuatu yang hilang itu adalah kesejahteraan hidup. Banyak mengalami lebingungan dalam hidupnya. Anggada memiliki semangat tinggi dalam konsep Rama untuk meyerbu Alengka guna menemukan kembali Shita.

      Apa yang perlu kita lakukan untuk mempercepat proses kehidupan ini? Anggada (sifat mudah terpengaruh). Di dalam alam yang serba modern, manusia menggunakan dunia ini, mencari kehidupan di dunia ini, banyak yang keliru karena pikiran-pikiran yang digunakan tidak untuk melakukan hal-hal yang positif sehingga dunia menjadi kacau (sengsara). Seluruh dunia mengalami perubahan total (globalisasi). Siapapun tidak akan mampu membayangkan apa yang telah terjadi saat ini. Beberapa tokoh/negarawan dunia akhirnya menyadari yang dimulai dari Negara Amerika, Eropa, Afrika, Asia Timur, dan sebagainya. Bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kehidupan lahir bathin dengan jalan bhakti (mengingat Tuhan). Pikiran-pikiran sekuler (materialis/lahiriah) tidak akan mampu memberikan penyelesaian tentang persoalan hidup ini untuk mencapai Jagathita. Dengan Jnana tidak mungkin. Wijnana lebih banyak dapat menyelesaikan persoalan hidup. Pikiran ada pada otak. Otak adalah benda material sehingga memikirkan benda-benda lahiriah saja. Dengan hanya menggunakan otak dunia menjadi simpang siur. Dalam keadaan ini barulah manusia sadar. Manusia mengalami siksaan bathin maka barulah Wijnana difungsikan. Wijnana berasal dari bukan material. Menggunakan sesuatu berdasarkan logika manusia dalam bentuk yang utuh dengan alam jagat raya, bermula berpikir dari ether (sunya/agama). Dari sinilah terjadinya benda-benda material/bukan material. Oleh karena itu apa yang ada di dalam diri kita adalah Anggada. Badan ini agar dapat mengalahkan sifat-sifat  Rawana dengan seluruh pengerahan pikiran yang komplit dengan penuh rasa tanggung jawab. Kita akan kerahkan segala pikiran, kekuatan dari hati nurani dengan pikiran yang jernih/kesucian untuk menemukan kesejahteraan yang hilang. Daya pikir kita harus digunakan dan badanlah sebagai alatnya (Anggada setelah menyadari kekeliruannya). Tentu banyak hambatan/tantangan untuk mencapai itu sebab tidak gampang untuk mengalahkan Rawana apalagi ada Kumbakarna (keserakahan yang didukung oleh sifat  tak mau tahu persoalan). Inilah tantangan yang harus dialami oleh seluruh umat di dunia dalam mencapai kesejahteraan hidup lahir bathin.

       Mengapa Anggada dapat diperalat? Hal ini disebabkan karena Anggada belum mampu mengendalikan indria, justru yang dihadapi adalah kenikmatan. Kita belum memiliki kepuasan dalam hidup ini sehingga lupa pada tujuan semula. Rasa Aku kita belum bisa dikendalikan. Anggada mau menjadi jembatan artinya tenaga pikiran ada pada badan, badan itu sendiri agar mau menjadi jembatan. Semuanya ada dalam diri.

      Materi dianggap membahagiakan hidup merupakan  pandangan yang salah sebab materi hanyalah sebagai alat. Materi lebih banyak menyesatkan manusia. Hati-hati memegang materi kecuali iman kita telah kuat. Landasilah dengan jiwa bhakti sehingga materi dapat menjadi alat di samping juga dapat membahagiakan. Manusia yang mempunyai kekayaan sekarang melupakan Tuhan sehingga kekayaan itu dimakan oleh Sang Hyang Kali. Demikian pula sebelum menerima gaji sudah punya cita-cita yang menuju perbaikan hidup setelah menerima gaji pikiran berubah.