Marilah saya ajak melihat Matsyapati. Matsyapati dengan rupa tampan sebagai anak lelaki, walaupun kelahirannya kembar dengan Durgandini, perlu mendapat pendidikan di istana di bawah asuhan ayahnya Basuparicara dengan ibunya Girika. Setelah Matsyapati dewasa, dia diangkat menjadi Raja Wirata.
Sekarang kita melihat prikehidupan Matsyapati. Matsyapati sebagai putera lelaki yang akan menjadi pewaris dari kerajaan, dengan sendirinya akan dipelihara sebaik mungkin. Sebagaimana kita telah sama mengetahui bahwa lelaki mempunyai sifat purusa yang berarti menjiwai atau merupakan urip dan mempunyai sifat nirguna, Dalam hidup ini selalu sayang akan urip atau jiwa. Dan selalu pula dipelihara dengan sebaik mungkin. Sebab itulah yang menentukan hidup atau mati. Bukan materi dunia ini, dan bukan pula perasaan suka duka ataupun suatu keinginan. Oleh karena itu perlu didudukkan sebagai raja. Dengan segala kekuatan yang ada, dikerahkan dan dengan segala daya upaya yang ada untuk dapat menyelamatkan kehidupan dari Matsyapati atau urip. Matsyapti dapat diartikan karmapala yang bebas. Daya upaya ini tiada lain daripada ayahnya sendiri dengan nama Basuparicara. Dan setelah ia besar diangkat menjadi Raja Wirata atau boleh diartikan dengan kehidupan kita. Wirata adalah kehidupan yang luhur.
Di sini saya dapat mengambil suatu pengertian yang sama bagi kedua nama yang berbeda antara Pratipa dengan Basuparicara, karena mempunyai suatu kaitan yang satu dengan yang lain yang tidak bisa dipisahkan seperti Nakula Sahadewa. Pratipa sebagai wadah, sedangkan Basuparicara sebagai isi. Oleh karena itu pula saya mengambil pengertian dari dalam tubuh kita sendiri. Pratipa adalah gerak jasmani, Basuparicara adalah gerak rohani (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik Bayi ini?, oleh I.N. Sika WM, 1975).