Sekarang kembali saya ajak kepada kesejahteraan lahir bathin. Secara lahiriah akan dapat dengan puas menggunakan atau menikmati materi yang ada. Namun tidak menimbulkan suatu keterikatan akan materi. Materi adalah sebagai alat untuk mempertahankan hidup, dalam menghapus balutan karmawasana yang menyebabkan adanya PUNARBHAWA. Materi dunia bukanlah sebagai pemuas dari indrya untuk memberikan kepuasan nafsu duniawi. Sebab kalau tidak dapat terpuaskan, akan melekat menjadi citta pada waktu mati, dan selama masih hidup akan menimbulkan kesedihan, dan bila telah terpenuhi akan menimbulkan kegembiraan. Inilah yang ada. Suka duka silih berganti. Dan inilah yang menimbulkan samsara. Inilah yang ada di dunia. Dari kedua badan dan dengan sifatnya masing-masing, dengan dirajai oleh sifat aku, maka akan ada pengertian RWABHINEDA. Siapakah yang membuat pengertian serba dua itu? Tiada lain sang aku. Kalau dipandang cocok dengan akunya, itu akan dikatakan baik, walaupun menurut orang lain itu adalah tidak baik. Di sinilah akhirnya timbul suatu pengertian, aku ya aku, dia ya dia. Individualis sangat merajalela, sifat sosial menjadi hancur lebur. Prikemanusiaan menjadi pudar, hidup berdampingan menjadi suatu yang sangat tidak bermanfaat. Inilah yang menyebabkan adanya kata-kata individualis egoistis. Sifat materialis akan selalu mengumpulkan materi sebagai alat untuk memenuhi unsur jasmaninya. Golongan ini hanya percaya dengan kemampuan di bidang materi untuk mencari kepuasan dunia. Mereka tidak segan-segan mencarinya dengan segala jalan yang dapat memberikan keuntungan materi, walaupun dengan pengorbanan sifat keadilan dalam hidup berdampingan dengan mengenyampingkan keluhuran hidup serta harga dirinya sekedar mengisi nafsu keterikatan akan materi. Mereka telah gembira dengan materi yang dimilikinya. Namun mereka akan sedih dan jengkel apabila materi yang dimilikinya akan berkurang. Apakah itu untuk kepentingan prikemanusiaan, rugi atau hilang? Mereka adalah pemuja materi. Segolongan lagi akan selalu puas dengan pengetahuan mistiknya, selalu puas dengan penemuan mistiknya walaupun mengalami kehancuran hidupnya di bidang materi. Keluarga berantakan, jasmani mengalami sakit, dan kurus kering tanpa tenaga, asal sudah dapat memuaskan dengan kenyataan gaib. Itulah merupakan surga baginya. Di satu pihak takbur dengan materi yang dapat dikuasainya, di satu pihak takbur dengan pengetahuan rohani yang didapatnya. Ini belum namanya suatu kesejahteraan lahir bathin. Ini belum namanya kesejahteraan dunia atau kesejahteraan hidup di dunia, sebagai manusia yang mempunyai dua buah badan. Apalagi dapat mencapai kebahagiaan yang abadi, sehat lahir bathin, dan suka tan pawali duka. Atau kegembiraan yang tidak akan kembali menjadi susah lagi. Hal itu baru dipenuhi fungsi kehidupan yang dipengaruhi oleh Rwabhineda. Untuk itu perlu saya kemukakan pengertian dari : Sarwa idham khalu Brahman. Maksudnya tiada lain bahwa kesemuanya itu adalah Tuhan. Semua yang berwujud yang dapat dinikmati oleh pancaran indrya, maupun yang secara intuisi yang dapat dinikmati oleh pancaran budhi, adalah Tuhan. Tiada sesuatupun yang bukan Tuhan. Karena apa? Marilah saya ajak mencari pengertian yang terkandung dari kata WYAPI dan WYPAKA. Kesemuanya diresapi oleh Tuhan atau semuanya mempunyai sifat ketuhanan, baik yang dipandang kecil atau besar, yang hina maupun yang mulia, yang nyata atau yang gaib. Kalau demikian hendaknya, haruslah dikembalikan kepada semua yang berbeda-beda itu adalah sama. Namun sebaliknya yang sama itu mempunyai perbedaan. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh bentuk dan rupanya, juga mungkin oleh jumlah unsurnya, atau mungkin oleh perbedaan jumlah jenis unsurnya, sehingga akan memperlihatkan perbedaan sifat karakter yang ke1ihatan. Mungkin juga disebabkan oleh karmawasana yang terdahulu. Banyak hal lah yang menyebabkan perbedaan watak dan sifat yang dibawakannya dalam wujud yang serupa. Namun kesemuanya merupakan unsur ketuhanan yang mempunyai sifat tak terpengaruh oleh semua keadaan baik berupa materi maupun kegaiban. Bagi Tuhan itu adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari ajaran TAT TWAM ASI yang mengandung suatu pengertian adalah untuk engkau Tuhan. Atau dalam pengertian yang lain saya adalah engkau (TUHAN). Jadi berarti hendaknya dipandang kesemuanya yang ada di luar diri sendiri (saya) adalah Tuhan. Dus berarti bagaimana menghormati Tuhan, hendaklah demikian pula menghormati orang lain. Dengan ajaran ini barulah akan dapat kembali mengisi tempat kebenaran Tuhan yang telah diambil oleh sang AKU. Dengan kembali ke sifat tatwamasi berarti kembali ke sifat saling menghargai, sifat sosial, kejujuran, dan kerukunan hidup berdampingan serta prikemanusiaan akan tumbuh dengan suburnya. Bila lebih sempit lagi, yang ada dalam diri sendiripun akan mengalami kerukunan, sebagai akibat dari perhatian yang ditujukan dalam mengisi kedua badan wadah yang ada dalam tubuh. Dengan mengembalikan sifat yang berat sebelah, dengan sifat gotong-royong saling isi-mengisi, tentramlah hidup ini. Keduanya tidak akan memberikan kesusahan lagi. Jasmani sehat, rohani akan puas. Bertemulah antara rationil dengan irationil. Dengan demikian akan berkembang kedua unsur materi yang rationil dengan pengetahuan kegaiban yang rohaniah dengan pesatnya, dengan tidak mengganggu perkembangan yang lain. Inilah yang saya maksudkan dengan pengertian kesejahteraan dunia lahir bathin. Untuk melaksanakan hal-hal itu hendaknya diingat akan ajaran Catur Warga atau juga disebut CATUR PURUSARTHA yaitu : kama, artha, dharma, moksa. Kama berarti keinginan duniawi. Artha adalah alat yang dipakai untuk mencapai tujuan. Dharma adalah kewajiban suci. Moksa adalah kebahagiaan abadi. Jadi keinginan akan materi atau kegaiban adalah merupakan alat dalam melakukan kewajiban suci, untuk mencapai kebahagiaan abadi. Bukanlah pengisi keinginan itu hanya sekedar pemuas nafsu duniawi, tapi betul-betul merupakan suatu alat dari dharma. Misalkan saja dengan radio. Kalau radio itu sebagai alat sekedar untuk show, dan bukan suatu alat dalam hidup di zaman modern, sebagai alat komunikasi yang sangat dibutuhkan, maka hal itu adalah sekedar pemuas nafsu keinginan. Atau pemilikan suatu materi yang tak mengandung unsur guna yang rnenyangkut kehidupan, itu bukanlah suatu alat dharma. Berarti alat itu sendiri tidak akan dapat melakukan fungsinya seperti apa yang diharapkan. Juga minum alkohol, kalau bukan mempunyai nilai kesehatan malah dapat mengganggu kesehatan, adalah sekedar pemuas nafsu belaka. Kedua dalam pemilikan benda-benda materi yang dapat menyebabkan penderitaan, itu adalah suatu pemuas keinginan yang terselimut untuk keperluan hidup (dharma). Oleh karena itu, hendaknya harus hati-hati dalam menngikuti getaran keinginan (kama). Begitu juga dengan pemilikan ilmu pengetahuan, hendaknya fungsinya dapat disamakan dengan pemilikan materi tadi. Sebab kemungkinannya akan dapat mencelakakan orang lain demi mengikuti desakan keinginan untuk mencari keuntungan kepada orang lain dengan jalan yang tidak benar. Misalnya bagaimana memeras orang lain. Bagaimana menipu orang lain agar dapat mengambil keuntungan daripadanya. Ini bukan namanya ilmu pengetahuan dharma. Itu adalah salah satu dari enam sifat loba yang menjadi inti dari nafsu. Keenam itu sering disebut SAD RIPU, yaitu sifat menuruti nafsu duniawi dengan tamak, menimbulkan sifat benci dan iri hati terhadap orang lain, dan bila tak dapat dipenuhi akan suka mencela dengan sombong atau dengan kemarahan agar dapat memilikinya. Bila telah dapat memilikinya, apa lagi lebih dari yang lain, akan memandang yang lain seperti tidak berharga. Sifat-sifat yang demikian akan menentang secara tidak langsung ajaran Tattwamasi itu sendiri. Kembalilah sifat Aku yang mengambil tempat kebenaran ketuhanan. Oleh karena itu, hendaknya selalu berbuat dengan pengertian Tattwamasi dengan Catur Warga, maka akan berhasillah keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan dunia atau hidup di dunia. Di samping itu hendaknya dapat dipikirkan mengenai sebab musabab kelahiran. Adanya kita lahir dan hidup sekarang. Sebelum lahir asalnya darimana? Dan setelah mati, mau ke mana? Ini sangat penting untuk menuju alam kedamaian. Dengan mengetahui itu akan dapat membebaskan keterikatan akan apa yang ada di dunia. Kelahiran dulu membawa karmawasana, sehingga lahir kembali. Dulu sudah dapat menikmati penderitaan yang terombang-ambing oleh suka dan duka yang menyebabkan kesedihan. Lahir sekarang dengan membawa sancitta (phala dari perbuatan yang dahulu yang belum dapat dirasakan). Mati hanya membawa karmawasana sebagai hasil perbuatan yang terikat oleh nafsu keinginan menikmati kenikmatan dunia. Hanya itu yang dibawa. Bukan yang dimiliki akan dibawa pada waktu mati. Sekarang saya hidup. Lalu fungsi hidup ini untuk apa? Menurut pengertian saya fungsi hidup ini tiada lain untuk melakukan perbuatan atau usaha (karma) untuk dapat menghapus sancitta yang ada pada citta yang berupa suatu keinginan akan kenikmatan duniawi. Mungkinkah akan dapat memenuhi fungsinya untuk menghapus citta, apabila getaran nafsu itu selalu akan diikuti? Lihat saja dengan kemajuan tehnik modern yang dapat menyediakan semua keinginan akan materi. Tiap saat berubah warna dan bentuknya. Mata selalu ingin melihat yang baru. Hidung selalu mencari yang baru pula yang lebih harum dari yang sudah. Telinga, mulut, tangan, dan lain-lainnya selalu tidak senang akan yang tetap. Selalu berubah mengikuti perkembangannya. Pabrik selalu menyediakannya dengan kemajuan berpikir manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dapat mengamalkan ilmunya sebagai dharma bhaktinya. Namun kemampuan selalu akan terongrong olehnya. Bila tidak mampu dengan sendirinya akan timbul kesedihan dan akan melekat di alam CITTA, yang menyebabkan kelahiran kembali. Oleh karena itu, kesadaran akan fungsi hidup, pengertian akan fungsi materi yang diingini. Dengan pengertian akan fungsinya, barulah akan dapat membatasi keinginan, dan berarti sudah tidak menambahnya lagi. Tinggallah menghapus yang ada pada citta satu persatu. Sebab apa yang diinginkaannya itu adalah tidak semewah yang ada sekarang. Dengan memenuhi dengan yang lebih baik berarti telah dapat menghapuskannya. Dengan pengertian pula tidak akan merupakan kenangan manis lagi, sehingga akan meminta terus menerus. Dan akhirnya terkendalikanlah keinginan itu sehingga pada waktu mati, tiadalah membawa balutan karmawasana yang membalut ATMAN. Dengan hilangnya balutan-balutan Citta berarti atman akan bersatu dengan Brahman dan jazad akan bersatu dengan tanah sebagai asalnya. Sekarang saya kembali lagi seperti apa yang telah saya nyatakan di muka. Kita sebagai manusia yang hidup adalah merupakan alat bergerak. Tuhan adalah suatu kekuatan gerak atau jiwa. Dunia adalah tempat hidup. Sebagai alat gerak hanya mempunyai kewajiban untuk selalu bergerak atau berkewajiban. Kewajiban itu dapat saya samakan dengan melakukan dharma. Dharma melakukan kewajibannya di dunia untuk kepentingan TUHAN dan dunia. Kalau lebih sempit lagi untuk kepentingan Atman (jiwa) dan kepentingan badan. Bukan kepentingan citta atau AKU. Di dunia kita lahir, di dunia kita hidup, di dunia kita akan mati. Kita ada dan tiada (hal gaib/suksma) yang bersumber pada Brahman, dan akan kembali kepadanya setelah mati. Namun kalau tetap menjadi suksma, akan kembali lagi melakukan fungsinya ke dunia, sebelum kembali ke sumbernya (TUHAN). Oleh karena itu kewajiban di dunia sebagai manusia ada dua. Bertaggung jawab dengan sumber dan bertanggung jawab dengan dunia. Dus berarti bertanggung jawab akan keselamatan badan dan keselamatan akan jiwa.Untuk menyelamatkan kedua-duanya itu yang pertama harus melakukan kerja. Tanpa kerja tidak mungkin akan dapat melakukan kewajiban. Untuk dapat melakukan kerja, hendaknya mempunyai tenaga dan ilmu. Tenaga akan ada apabila badan itu sehat, sedangkan ilmu itu sempurna bila mempunyai jiwa yang sehat (rohani yang sehat). Walaupun kesemuanya itu sudah ada, yang terpenting adanya kemauan dan keberanian dalam berbuat. Kalau saya lihat kembali dalam usaha menyelamatkan dunia harus dengan ilmu. Tanpa ilmu sama halnya orang berjalan di malam gelap, tak akan dapat membedakan mana yang ada dan tidak ada. Semua sama, dengan warna yang sama, dengan bentuk kesatuan malam gelap hitam. Ilmu adalah suatu alat untuk dapat memberikan sinarnya yang terang agar dapat membedakan benda satu dengan lainnya. Dengan ilmu akan dapat menganalisa dan mengkonstruksinya kembali. Pengetahuan analisa sangat penting sekali. Tanpa ilmu yang banyak, dan dengan daya berpikir yang terang, tidak akan dapat memberikan analisa yang tepat. Pikiran yang terang akan dapat melihat segi-seginya, dan penggunaan setiap unsur yang diketahui, dan akan dapat menempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Namun pikiran yang gelap akan dapat melihatnya sama saja. Pikiran gelap akan muncul apabila sudah memihak sebelah, dan kalau sudah dikuasai oleh sifat EGO. Oleh karena itu, agar jangan pada waktu berpikir itu menjadi kabur, perlu sekali mengesampingkan sifat ego (aku) agar ilmu pengetahuan dapat melakukan fungsinya (dharmanya). Dengan ilmu akan dapat melihat salah letak dari setiap unsur sehingga akan dapat merugikan di segala pihak. Tidak saja hanya dapat melihat kesalahannya saja tapi dapat juga melihat bagaimana caranya untuk mengatur kembali agar kesalahan tadi dapat diperbaiki. Sebagai badan pelaksananya adalah tenaga yang ada pada jasmani. Jasmani yang sehat juga berdasar petunjuk-petunjuk dari ilmu pengetahuan dan berpikir, agar dapat melahirkan tenaga yang kuat dan baik. Oleh karena itu perlu adanya ilmu anatomi biologi, atau ilmu yang menyangkut badan jasmani. Dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan, serta dapat melihat mana yang lebih dan mana yang kurang, dan dapat mengisinya secara sempurna, dengan sendirinya hidup yang sehat akan dapat dicapai. Kalau sudah badan sehat, mau tidak mau akan dapat menge1uarkan tenaga yang kuat. Dengan tenaga yang kuat, akan dapat menyelesaikan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Setelah itu ada, harus ada kemauan yang kuat dan keberanian dalam segala konsekuensinya. Tanpa ini kesemua yang tadi, seperti ilmu, tenaga, tidak ada gunanya. Syarat terpenting sebenarnya kemauan dan keberanian. Kemauan adalah suatu modal pertama dalam melaksanakan kerja. Dengan kemauan yang telah bersatu padu dengan keberanian yang didampingi oleh tenaga dan ilmu akan dapat melaksanakan tugas kewajiban yang menjadi dharma itu dengan sempurna. Segala rintangan-rintangan yang ada dapat dilenyapkan dengan adanya keberanian akan menerima segala konekwensinya. Rintangan-rintangan itu tiada lain dari tempat melakukan atau yang dikerjakan, dan dari diri sendiri, yang berupa keinginan-keinginan nafsu yang mungkin tidak dapat terpenuhi. Ini menimbulkan suatu ketakutan dalam melakukan suatu dharma, karena akan dapat merugikan kepentingan AKUnya atau indryanya sendiri. Keberanian akan dapat mengalahkan ketakutan-ketakutan yang timbul yang menyelinap dengan beberapa dalih kebenaran palsunya. Tetapi kalau rasa ketakutan akan resiko yang dihadapi itu, tak dapat dihilangkan terlebih dahulu, maka sulitlah akan dapat menjalankan kewajiban sebagai fungsi hidup. Hal-hal yang menyebabkan ketakutan itu tiada lain dari rasa keterikatan (TRESNA) terhadap kepentingan sendiri (ego). Dari rasa keterikatan (tresna) itu akan muncul suatu khayalan yang bukan-bukan, sehingga timbul suatu prasangka buruk, yang seolah-olah akan dapat membuat suatu penderitaan. Pertama-tama akan timbulnya suatu khayalan akan kegagalan dari segala usaha yang akan dilakukan, dan dengan sendirinya akan dapat menimbulkan suatu kerugian baik ditinjau dari segi materi maupun ditinjau dari segi moril. Rasa ketakutan akan kehilangan kemakmuran materi dan kerugian yang akan dilakukan bila usaha dharma itu akan dijalankan. Juga akan timbul suatu kerugian moril yang akan dapat menurunkan harga diri disebabkan oleh karena melakukan kewajiban, yang tidak sesuai dengan perasaan harga diri yang sedang dipertahankan sekarang. Juga akan dapat menimbulkan rasa malu yang dapat menekan perasaan dan membuat penyesalan. Dengan melakukan itu pula akan dapat menimbulkan kehancuran hidup dari bahaya ketidakpercayaan terhadap orang lain. Dengan perasaan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaksanaan dharma itu, akan dapat membangkitkan rasa 1esu, enggan dan ketidakpercayaan kepada kemampuan sendiri, baik di bidang ilmu maupun di bidang tenaga, dan materi. Dengan ini akan timbulnya perasaan apatis, sehingga tidak akan dapat melaksanakan dharma. Namun di lain pihak akan timbul, keinginan menikmati kenikmatan hasil yang telah diperoleh oleh orang lain. Kalau sudah demikian halnya, bermunculanlah semua wiweka untuk dapat menikmati dengan mudah dan gampang. Harga diri yang dipertahankan, malah sekarang akan dijual dengan murah. Perbuatan yang tidak wajar selalu muncul dalam pikiran, untuk menyuruh berbuat agar dapat menikmati kenikmatan yang ada pada orang lain. Ilmu yang dimiliki akan dipakai menipu, tenaga yang kuat akan dipakai memperkosa, badan yang gagah segar bugar akan dipakai senjata penipuan, kekayaan yang ada akan dipakai alat pemerasan. Nah inilah yang diakibatkan oleh rasa ketakutan dalam melaksanakan kewajiban hidup. Inilah sebagai akibat keterikatan akan materi dan harga diri. Ini pula yang menjadi tantangan dalam menuju kesejahteraan lahir bathin. Keberanianlah yang menjadi lawannya. Kemauanlah sebagai tenaga pendorongnya. Berani dengan kenyataan. Berani menghadapi khayalan dengan jalan berpikir yang terang demi memenuhi tuntutan kesejahteraan lahir bathin, phisik dan spiritual. Disinilah tempatnya ilmu, tenaga, materi. dan perbuatan mendapat suatu ujian. Ujian yang diberikan oleh tuntutan kewajiban. Dengan pengetahun, tenaga, materi, keberanian serta kemauan hendaknya bersatu padu dalam melakukan dharmanya. Dengan pengetahuan akan dapat melihat segi-seginya yang negatif atau positif. Perjuangan dalam menemukan kebahagiaan pasti dengan pengorbanan. Korban pemikiran, korban tenaga, korban materi, korban perasaan. Semuanya itu harus dikorbankan demi tercapainya kesejahteraan lahir yang material, dan kesejahteraan moril. Suatu perjuangan tanpa pengorbanan, bukanlah suatu perjuangan. Perjuangan menghendaki adanya pengorbanan. Kepahitan hidup permulaan harus diterima, kalau ingin rnenikmati manisnya. Penderitaan harus dilalui. Tanpa penderitaan, kebahagiaan tak akan pernah jumpa. Kegagalan adalah suatu tanda bahwa belum sempurnanya persiapan permulaan. Pasti masih ada yang keliru. Apakah keliru dalam menggunakan ilmu yang dimiliki, apakah saatnya belum baik, apakah kondisinya tidak mengijinkan. Kegagalan adalah guru utama, yang dapat memberikan pelajaran untuk tidak berbuat lagi. Dengan meletakkan kepercayaan pada Tuhan sebagai jiwa penggerak semuanya yang berarti telah percaya pada kemampuan sendiri. Percaya pada kemampuan diri sendiri, belum berarti percaya akan kekuasaan Tuhan, dan malah akan sebaliknya. Dengan me1etakkan keyakinan akan kekuasaan Tuhan dan diri sendiri sebagai ciptaan Tuhan, akan berani menanggung segala resiko yang akan menimpanya. Penderitaan permulaan adalah suatu keharusan. Yang tidak mau menderita pada permulaan, tidak akan pernah menikmati suatu kedamaian. Namun hanya kegembiraan sementara dengan kesedihan mengikuti dari belakang. Penyesalan sebagai akhirnya. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna. Nasi telah jadi bubur. Perbuatan telah terlanjur dan tidak akan dapat dicari lagi. Untuk tidak akan mengalami penyesalan kemudian, hendaknya berani berkorban kesemuanya terlebih dahulu, mau menerima kepahitan hidup dan penderitaan materi dan moril, dan nanti setelah itu barulah akan dapat menikmati manis, gembira dan bahagia. Puas dengan hasil usaha yang dijalankan, puas materi dengan hasil yang diperoleh dengan usaha sendiri. Dengan demikian berarti telah melepaskan diri dari keterikatan, dan ketergantugan. Mengapa demikian? Ketakutan adalah sifat nafsu dan keterikatan serta ketergantungan. Hal itu disebabkan oleh dorongan keinginan indrya. Kemauan, keberanian adalah sifatnya dharma, dengan sifat kebebasan. Bebas dari pengaruh nafsu, bebas dari penderitaan. Bebas dari sifat ketergantungan. Ini juga merupakan rwabineda, yang selalu bersifat dua. Dengan kemauan serta keberanian dalam melakukan kewajiban sebagai tanggung jawab hidup adalah merupakan pe1aksaan dan perintah Tuhan dan berarti telah bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian akan hilanglah keraguan dalam melakukan kerja. Semua aktivitas pikiran dan tenaga tertuju pada satu titik. Kesemuanya telah berkonsentrasi pada kerja yang dikerjakan. Dengan konsentrasi pikiran dan kerja, berarti telah dapat mengalahkan tarikan daripada nafsu indrya yang akan menghalangi-halangi. Juga tidak memberikan munculnya keinginan-keinginan. Ketakutan akibat dari khayalan-khayalan yang bukan tidak mendapatkan tempatnya. Dengan hilangnya rasa ketakutan-ketakutan yang bukan-bukan itu, akan dapat melakukan kerja dengan gembira dan puas. Tetapi melakukan kerja dengan setengah hati, ragu, dan dengan penuh khayalan, menyebabkan kelesuan tenaga dan penderitaan serta penyesalan-penyesalan akan arti daripada hidup. Sifat yang pesimis akan muncul dengan sendirinya. Kerja adalah merupakan suatu penyakit yang tak akan pernah sembuh. Ini pula yang menjadikan adanya rwabhineda, mengapa orang rnengerjakan pekerjaan, ada yang dengan penuh kegembiraan dan ada yang dengan kesedihan (tanpa gairah). Pikiran selalu bercabang-cabang, kesana kemari. Tenaga telah habis oleh larinya khayalan. Pekerjaan terbengkalai. Inilah yang ingin menikmati sesuatu tanpa pengorbanan. Korban baginya sesuatu yang tidak baik dan menyakitkan hati. Kesemuanya ini telah wajar harus ada di dunia. Namun kebahagiaan hanya dalam khayalan, dan bukan kenyataan. Kenyataan bagi yang dengan kemauannya serta keberaniannya dalam melakukan kewajiban. Pengorbanan baginya adalah suatu keharusan. Malah tidak akan percaya bila perjuangan tanpa pengorbanan (Wiswamurti).