Dalam perjalanannya para Pandawa yang diantar oleh para Brahmana menuju Telaga Dwetawana. Di tepi telaga Dwetawana, Yudhistira menerima segala penyesalan-penyesalan dari Bhima dan Drupadi. Drupadi mengungkapkan keagungannya dan kenikmatan yang pernah dirasakan dengan nikmatnya.
Sedang sekarang apa yang terjadi adalah sebaliknya. Kesengsaraan dan kemelaratan lahir bathin. Dia menanyakan apakah belum waktunya kita merebut negeri kita dari Duryodhana? Apakah gunanya Arjuna dengan kesaktiannya, yang tak ada tandingannya? Dan apa gunanya Bhima yang kuat itu? Apakah kanda tidak kasihan melihat Nakula dan Sahadewa yang masih tenar dan sudah pandai mempergunakan senjata? Tidakkah kita pantas menghukum orang yang berbuat salah? Memang benar mengampuni musuh adalah orang yang pantas masuk surga. Tetapi di mana keadilan itu. Yudhistirapun menjawab dengan tenang. Oh, adikku tersayang, memang benar apa yang kamu katakan itu, tetapi ketahuilah kemarahan adalah perusak jiwa dan menjadi sumber kesengsaraan. Dengan kemarahan aku tak dapat berbuat sesuatu. Dengan kemarahan aku tak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan ketahuilah bahwa orang yang lemah harus dapat menahan marah. Orang yang mempunyai belas kasihan adalah lebih baik dari orang yang jahil. Orang yang baik budinya dan waskita adalah orang yang dapat menahan marah. Dengan kemarahan orang dapat berbuat yang tak pantas diperbuat, dan malah membunuh yang tak pantas dibunuh. Orang yang dapat menahan nafsunya akan dapat mempergunakan kekuatannya dengan tepat. Bila di dunia ini tak ada orang yang suka memberi ampun maka dunia ini tak akan pernah tentram. Jika fitnah dibalas dengan fitnah, dendam mendendam, balas membalas maka dunia ini akan rusak. Saya tidak mau untuk menghukum Duryodhana karena terdorong oleh hawa nafsu semata-mata, dan berusaha dengan sejujur-jujurnya.
Dengan penjelasan dari Yudhistira, Drupadi merasakan bahwa dunia ini tidak adil. Hal ini dapat dibuktikannya akan diri Yudhistira yang menderita kesengsaraan dunia akibat dari kejujurannya. Sedangkan Duryodhana yang tidak jujur dapat hidup tentram menikmati segala kenikmatan dunia dan menjadi raja Agung. Mengapa hukuman jatuh pada yang jujur? Yudhistirapun menjawab : “Hai Drupadi apakah kamu tak percaya adanya Hyang Widhi?. Aku tak sanggup mengharapkan hasil jerih payahku. Dan aku berdharma sebagai kewajibanku. Dengarkanlah lagi.
Orang yang menjalankan keutamaannya dengan mengharapkan buah keutamaannya, berarti meninggalkan keutamaan. Orang yang kurang tinggi budinya selalu bimbang dalam menjalankan kebajikan. Inilah ucapan yang ada pada Weda. Siapa yang tak percaya kepada Agama, terhadap keutamaan para Maharsi, seperti Wyasa, Wasista, Narada dan lain-lain tak akan mendapatkan tempat dalam kemuliaan yang tetap. Oleh karena itu hendaknya kamu tidak lagi bimbang dan bingung. Hanya orang yang piciklah menganggap barang yang hanya dapat dilihatnya saja yang dapat mendatangkan kesenangan.
Oleh karena itu bila orang yang utama dan menjalankan keutamaan selalu bimbang hatinya akan mendapatkan dosa yang tak berampun. Dan selama hidupnya akan terlibat dalam kesusahan dan kelak akan mendapat tempat yang tak menyenangkan. Jika keutamaan ini tak akan ada buahnya, dunia ini akan diliputi kejahatan. Jika demikian tak ada orang yang akan mengerjakan keutamaan dan pengetahuan. Jadilah hidup ini seperti binatang. Buahnya tidak hanya akan dipetik di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat”.
Hal inipun mendapat sanggahan dari Drupadi. Drupadi mengatakan bahwa semua yang hidup ini bergerak. Begitu juga manusia. Manusia dapat mengaturnya. Kemalasan adalah dosa besar. Oleh karena itu, setiap orang harus bekerja. Dengan bekerja dan berusaha barulah akan dapat memetik buahnya. Begitu juga harapan Drupadi agar dunia ini berkembang, hendaknya Yudhistira sebagai seorang satria dalam membela Nusa dan Bangsa mengangkat senjata untuk menggempur si Angkara Murka. Orang yang menyerahkan hidupnya hanya kepada takdir adalah salah, tetapi sebaliknya orang yang percaya bahwa segala pekerjaan ada buahnya, orang itu harus mendapat pujian. Dengan bekerja akan dapat menghilangkan kesengsaraan. Jika telah bersungguh bekerja dan tak ada buahnya itulah takdir.
Oleh pandangannya ini diajaknyalah Yudhistira untuk merebut negerinya. Tetapi sayang Yudhistira masih diam. Dan Bhimalah yang muncul dengan pandangannya. Bhima mengatakan kita telah sengsara, kehilangan kehormatan, kemuliaan dan negeri. Kalau dengan perang tak mungkin negeri kita akan dapat direbut, walaupun Hyang Indra sekalipun. Orang yang bingung saja yang mau hidup sengsara. Orang yang mau mengembara di hutan seperti binatang adalah orang yang lemah. Orang yang mempunyai keberanian tentu akan merebut kembali hak miliknya. Orang yang bingung dan lemah yang tak berani merebut hak miliknya dari tangan musuh. Mati di medan pertempuran adalah sifat satria. Kalau kita begini saja tentu Drestharastra dan Duryodhana akan mengira bahwa kita tak berani melawan. Banyak orang yang gemar mencari keutamaan menjadi beku pikirannya dan tak dapat dengan meminta-minta, dan harus diperjuangkan dengan budi pekerti yang berazaskan keutamaan. Meminta-minta adalah pekerjaan Brahmana. Oleh karena itu, baiklah kita menjalankan keutamaan satria, bertempur membinasakan musuh.
Menurut orang bijaksana, kemuliaan itu ialah keutamaan. Oleh karena itu kita harus mencapainya. Kemauan jika tidak disertai dengan kekerasan hati, tak akan tercapai. Hasil yang dipetik tentu lebih banyak dari biji yang ditanam. Dan ingatlah leluhur kita akan melindungi kita dari rakyat serta negeri kita. Kemuliaan satria tak akan dapat dicapai dengan bertapa, akan tetapi dengan berperang. Marilah kita berperang dengan segala perlengkapan perang. Yudhistira dalam menjawab pandangan serta ajakan Bhima, bahwa apa yang dikatakan Bhima adalah benar. Karena kelalaian sehingga menimbulkan penderitaan. Yudhistira mengatakan bahwa dia tak dapat memungkiri perjanjian yang telah disaksikan oleh orang baik-baik. Sedapat-dapatnya dia tepati. Bagi Yudhistira lebih baik mati daripada memungkiri janji, hanya sekedar untuk mendapatkan kemuliaan dunia. Mengapa ketika itu kamu (Bhima) tak jadi membakar tanganku, karena cegatan Arjuna kau remes-remes. Jika kamu betul percaya akan kekuatan dirimu tentu kau lanjutkan. Sekarang Pandawa telah terlanjur sengsara. Apa gunanya kamu mengata-ngataiku? Akupun bersedih. Tetapi sesal kemudian tak ada gunanya. Tunggulah sampai waktunya, seperti orang menunggu memetik hasil tanamannya.
Bhima tak puas dan melanjutkan, katanya. Perjanjian dibuat karena sifat musuh yang licik. Kita harus merusaknya pula. Manusia diwajibkan mengeluarkan amarahnya jika perlu. Kakakku mempunyai pikiran, kekuatan, pengetahuan dan lagi turunan satria. Apa sebabnya tidak berbuat sebagai seorang satria? Tidak mau membinasakan musuh si Angkara Murka? Dan bagaimana kita akan dapat menyembunyikan dari dalam negeri yang ramai ini? Banyak negeri yang pernah kita taklukkan. Tentu ada Raja yang benci kepada kita. Mereka itulah yang menunjukkan tempat kita bersembunyi. Dan bila ketahuan tentu kita akan mengulangi hukuman itu lagi.
Oleh karena itu mulai sekarang kita basmi si Angkara Murka. Itu adalah pekerjaan utama seorang satria. Dalam jawaban Yudhistira akan jelas kita melihat, bagaimana keteguhan iman dari Yudhistira sebagai Bhakti Yoga yang taat. Antara lain ialah, segala sesuatu yang dikerjakan dengan kemarahan akan berakhir dengan kerusakan. Dan katanya pula supaya setiap pekerjaan yang akan dilakukan harus dipikirkan masak-masak. Semua musuh yang pernah kita taklukkan benci pada kita dan akan memihak kepada Korawa. Dan ingatlah kepada kesaktian Dussesana, Salya, Jalasanda, Karna, Aswatama, Duryodhana. Belum para panglimanya seperti Bhisma, Krepa, Druna dan lain-lainnya. Mereka sakti, walaupun Dewa rasanya tak akan dapat mengalahkannya. Jika saya ingat demikian saya tak bisa tidur karenanya. Demi mendengar sabda Yudhistira lemahlah Bhima dan diam seribu bahasa. Setelah selesai wawancara itu, datanglah Bagawan Wyasa, yang memperingatkan agar mereka tidak usah takut kepada ke semuanya itu. Dan juga menitahkan kepada Arjuna untuk menghadap Hyang Indra dan Hyang Rudra untuk meminta senjata. Dan Pandawa dinasehatkan supaya pindah ke lain tempat.
Saya kira tak usah saya terlalu banyak memberikan ulasan, bila saya ikuti wawancara yang diadakan oleh Drupadi, Bhima dan Yudhistira. Tetapi perlu juga saya mengulas mengenai nama-nama yang belum saya ulas di muka. Hutan dan telaga Dwetawana mempunyai suatu pengertian kenikmatan yang bersifat dua di dalam kebingungan. Bingung disebabkan oleh kenyataan dunia yang bersifat sementara. Drupadi dengan kenyataan dunia yang dia dapat lihat. Bhima dengan kewajiban yang duniawi. Jadi dalam keinginan menikmati kenikmatan sebagai pemenuhan duniawi dan juga ada keinginan rohani, di sini timbulnya pertentangan antara tangung jawab hidup manusia yang sekala (sementara),
Dalam pemilihan ini kita hendaknya betul-betul mendalami jawaban yang diberikan oleh Yudhistira. Dengan tèrgesa-gesa untuk mendapatkan buah usaha yang dijalankan, malah akan menimbulkan suatu kegagalan total. Beliau memperingatkan masih adanya Dussesana yang sakti. Maksudnya tak lain masih adanya tindakan yang tidak dapat dibenarkan yang sering ia lakukan. Salya sebagai sumber perasaan keterikatan akan kenikmatan dunia. Jalasanda sebagai usaha hanya kepada hasil materi dari Karma (pamrih). Karena sebagai perasaan yang mudah tersinggung. Aswatama sifat licik. Druna dan Krepa, pengarahan pengetahuan untuk kepentingan diri sendiri. Apakah kita sanggup mengalahkan sifat-sifat itu yang ada pada diri kita sendiri.
Oleh karena itu Bhakti Yoga mengajarkan jangan tergesa-gesa. Karena tidak dapat mengambil keputusan mulailah kita berpikir yang benar. Dengan pikiran tahulah bagaimana cara mengalahkan sifat-sifat itu yang sangat besar mempengaruhi setiap kemauan baik yang akan kita jalankan. Tetapi dengan pengetahuan yang ada dan dapat memikirkan keseimbangan antara kepentingan rohani yang akan dapat dikehendaki oleh senjata Rudra, yang memiliki pengetahuan biologis, atau jasmanih. Dan sekarang saya lanjutkan dengan ceriteranya, agar dapat melihat hubungannya (Wiswamurti)