Sekarang saya akan lanjutkan ceritanya lagi. Aswatama masih hidup. Duryodhana telah mati, Panca Pandawa telah kembali ke pondoknya dengan rasa yang sedih. Namun Drupadi masih hidup, kusir kereta Yudhistira juga kelihatan masih hidup. Dewi Utari masih hidup namun bayi yang ada dalam kandungan telah tak bernyawa. Bhatara Krishna sangat marah kepada perbuatan Aswatama, dan mengutuk Aswatama atas tindakan yang dilakukannya terhadap Dewi Utari. Kutukan itu berbunyi agar Aswatama selama 3.000 tahun tak dapat berkata—kata dan akan hidup di tempat yang sunyi, dan berkeliaran karena tak mempunyai daerah. Sebagai penawar kesedihan Dewi Utari, Bhatara Krishna juga menyanggupi, bila bayi itu lahir akan dihidupkan lagi. Legalah Dewi Utari.
Sekarang saya akan bertanya, mengapa Aswatama diberikan kutukan, dan harus hidup berkeliaran ditempat sunyi? Marilah saya ajak untuk menelitinya. Sengaja saya tidak melanjutkannya. Saya rasa agak penting arti yang terkandung di dalamnya. Aswatama yang dengan sifat liciknya telah membunuh karma baik yang menjadi buah dari perbuatan dharma. Aswatama mau mengambil keuntungan dengan diam-diam, hanya sebagai pemuas nafsu yang belun puas. Baik itu nafsu duniawi maupun rohani. Sifat licik akan mengambil hasil baiknya saja dengan secara diam-diam dari orang yang lupa atau bodoh. Atau 1ebih kasar lagi adalah pemerasan secara halus, baik yang bersifat moril atau materil. Inilah Aswatama. Malah hasil yang belum lahir dari orang yang akan menegakkan keutamaanpun telah dibunuh. Siapakah yang tidak akan marah? Inilah yang menjadi sebab mengapa Krishna marah dan mengutuk. Saya kira tidak hanya Krishna saja yang mengutuk, namun setiap orang yang tahu kebenaran dan beragama pasti akan mengutuknya. Aswatama adalah kebalikan dari swadharma. Hendaknya mendapatkan hasil bukan dari swadaya sendiri. Inilah yang terhina. Kutukan Krishna sebagai pembawa kebenaran tiada lain 3.000 tahun harus diam. Tiga adalah Trikaya. Tiga nol adalah agar tiap-tiap kaya itu tidak akan dapat berbuat. Manacika—manah—pikiran, tak akan dapat berbuat apa-apa. Dus hasilnya nihil. Wacika-bicara, juga tak mempunyai arti agar hasilnya nihil. Kayika dengan perbuatan jasmani juga tak akan dapat dipergunakan dan akan berhasil dengan nihil, atau tak mendatangkan hasil. Jadi semua gerak/usaha yang dijalankan, baik itu melalui pikiran, bicara, perbuatan agar tidak menghasilkan apa-apa alias gagal. Kedua berkeliaran di tempat sunyi yang artinya hal itu akan dapat hidup hanya bila tidak ada yang tahu. Tidak mempunyai daerah berarti tidak ada tempatnya/boleh mempunyai hak untuk hidup. Inilah kutukan dari pembawa kebenaran dan pembebas kegelapan akibat dari sifat yang angkara loba. Untuk memberikan kelegaan, bagi yang karmanya hampir berbuah dalam menegakkan keutamaan hidup di dunia, dan bila hasil karmanya lahir akan diberikan hidup, walaupun telah mati sebelum lahir. Oleh karena itu hendaknya dapat meyakini diri, walaupun usaha yang telah dirintis dalam menuju keutamaan hidup itu telah dijegal, namun Tuhan akan dapat menyelamatkannya. Di sinilah letak keadilan dari Tuhan Yang Maha Adil. Kegagalan itu adalah disebabkan oleh penipuan yang datangnya dari luar sebagai manusia sosial, dan dari dalam sebagai manusia individu. Walaupun basil karma itu telah dikibuli oleh si penipu licik, namun Drupadi masih hidup. Berarti wadah, usaha itu masih ada. Wadah usaha itu, apakah berupa tempat melakukan usaha, apakah itu kemauan kerja, ataukah berupa modal material atau tenaga. Jadi Tuhan juga memberi peringatan agar selalu waspada. Kerugian adalah akibat dari kelengahan. Kerugian adalah akibat dari perasaan cepat puas. Walaupun etika yang dilandasi pemikiran yang terang dan kesucian telah dapat tertipu sehingga tak mau melakukannya lagi, namun kusir Yudhistira masih hidup. Berarti landasan yang membawa perasaan bhakti masih tetap hidup. Dengan itu juga akan dapat membawanya ke arah kesucian hidup ber-Tuhan. Tak usahlah meragukannya. Dosa dibuat akibat kelengahan karena terpengaruh oleh perasaan cepat puas, dan cepat-cepat ingin menikmati buahnya. Marilah dilupakan saja dahulu Aswatama, dan akan saya ajak ke Hastinapura melihat Drestharastra (Wiswamurti).