Setelah perasaan yang berkecamuk di hati Pandawa sebagai akibat tindakan Aswatama itu telah reda, antara Bhatara Krishna dan Yudhistira berunding untuk mengirim utusan ke Hastina. Akhir perundingan Krishnalah yang berangkat ke Hastina untuk menjumpai Raja Drestharastra dan Dewi Gandari. Kedua-duanya bersedih karena sekalian anaknya telah gugur. Namun setelah Bhatara Krishna menjelaskan semua persoalannya, Raja Drestharastra sadar kembali dari kesedihannya dan menerima baik apa yang dijelaskan oleh Bhatara Krishna. Beliau juga akan meperlindungkan diri kepada Pandawa dan akan menganggapnya sebagai putra sendiri. Begitu juga Dewi Gendari, berhenti menangis dan dengan ke dua belah tangannya menutup mukanya. Walaupun pada lahiriahnya Dewi Gendari dapat menerima dengan suka cita, namun dalam hatinya masih remuk. Pada waktu itu pula beliau mengutuk Bhatara Krishna yang isinya antara lain “Agar Bhatara Krishna mati di hutan dengan sia-sia dan hina akibat dari perang saudara keluarga Wresni”. Kutukan itu akan jatuh 36 tahun sejak hari itu. Mendengar kutukan itu Bhatara Krishna tersenyum, karena menyadari hal itu. Beliau berkata, keluarga Wresni tak akan ada yang mengalahkannya. Kekalahan atau kematiannya adalah oleh keturunan Wresni juga. Setelah selesai Bhatara Krishna melakukan tugasnya sebagai utusan Pandawa, dan juga membawa hasil yang seperti yang diharapkan, beliau pamitan.
Mendengar cerita yang sangat singkat dengan kutukan yang jatuh pada Bhatara Krishna sebagai Awatara. Namun di balik itu saya dapat melihatnya sedikit gambaran yang agak terang. Bila saya kembalikan lagi kepada kata Drestharastra adalah suatu keinginan akan menikmati dunia materi. Ke dua adalah usaha yang akan merupakan pintu untuk dapat menjalankan usahanya itu. Itu adalah Gendari. Dalam membuka pintu usaha atau tipu daya, lahirlah Duryodhana, sebagai anak yang tertua. Duryodhana adalah keterikatan akan materi. Anak Gendari telah mati, akibat tipu daya Bhatara Krishna untuk membantu Pandawa. Oleh karena itu jelas, walaupun Gendari lahiriahnya mau menerima penjelasan Bhatara Krishna, namun dalam hatinya tetap tidak mau menerima alias menolak. Kebebasan adalah musuh keterikatan. Ke-Tuhanan adalah musuh kezaliman. Walaupun kelihatannya menerima namun masih juga jengkel kalau semua gerak dalam mendapatkannya telah dicegah atau dibunuh. Kesal bukan? Coba saja bila maksud hendak mendapatkan sesuatu itu mendapat cegatan melalui nasehat baik, tentu jengkel kepada yang mencegatnya, walaupun itu benar adanya. Begitu juga Gendari. Untuk menghilangkan malu dari dosa yang telah diperbuat, Dewi Gendari mengakuinya akan kebenaran Tuhan dan akan memohon maaf lahir bathin. Ke dua belah tangan adalah merupakan kekuatan lahir bathin atau sering disebut wahyadyatmika. Kematian itulah yang menjadi kesedihan. Dalam hati timbullah penyesalan mengapa Tuhan harus ada yang menghalangi semua keinginan untuk menikmati dunia dengan seisinya. Inilah yang menyalahkan Tuhan. Sumber kejahatan akan mengutuk pembebas perbuatan jahat. Maling akan mengutuk Polisi. Koruptor akan mengutuk Peraturan, dus langsung mengutuk penegak Hukum.
Begitulah yang terjadi di Hastinapura. Namun Bhatara Krishna yang maha tahu akan tersenyum. Sebab itu logis. Kekuatan Tuhan hanya akan lebur oleh kekuatan Tuhan itu sendiri. Perang saudara berarti, bila sudah yang memegang kebenaran Tuhan itu sendiri telah berkelahi, atau bila peraturan itu sendiri saling labrak, atau penegak hukum itu sendiri sudah tidak percaya lagi akan kebenaran yang dibawanya, sudah pasti kebenaran yang menjadi sumber kekuatan yang ada pada dirinya tak berguna lagi. Itu sudah jelas. Siapakah yang harus disuruh menghargai dan mempertahankannya lagi?
Hal ini tidak lain dari kebingungan yang membawanya. Kebingungan membawanya mati kebenaran dengan sia-sia dan sangat hina. Mengapa pula Dewi Gendari mengutuk 36 tahun lagi? Kembali lagi kepada angka. Tiga dimuka dan enam di belakang. Enam Sad Ripu. Sad Ripu ada karena ragadwesa. Ragadwesa adalah nafsu ego. Kalau berbuat tentu ada yang menyebabkan. Tiga yang menyebabkan. Tiga berarti Tri Carira atau Tri Bhuwana. Dengan sifat loba hendak mengisi ke tiga dunia yang meminta selalu dipenuhi sepuasnya. Itu tidak mungkin. Juga ada yang disebut Tri Anta Karana Tri Anta Karana terdiri dari, citta budi, manah dan ahamkara. Mungkinkah diisi seluruh keinginannya? Saya kira tidak mungkin. Mengisi sesuatu yang bertentangan dengan perasaan loba, itu tidak mungkin.
Hal inilah yang membuat kebingungan. Tiga dengan enam menjadi sembilan. Sembilan disebut Nawa Sangha. Nawa Sangha adalah sembilan lobang yang minta diisi. Sanggupkah mengisinya? Sering kita mendengar kata-kata bila orang telah dapat menutup ke sembilan lobang itu barulah dia akan mendapatkan Samadhi. Jadi hendaknya usahakan menutupnya jangan membukanya. Bila ke semuanya itu terbuka sulitlah akan mendapatkan kebenaran. Kebenaran akan hilang dengan sendirinya. Itulah makanya mengapa Bhatara Krishna tersenyum mendengar kutukan Dewi Gendari karena telah mengetahuinya itu semua (Wiswamurti).