Bila kita melirikkan mata kita ke jalan raya maka kita akan menemukan serba ragam keindahan yang terwujud oleh adanya kemajuan zaman. Air liur mengalir membasahi bibir, gerakan jantung berdegup, nafas sesak mengalir di dada dengan bunyi dengusan mulut, mungkin juga sampai pada getaran badan yang menggigil merasakan nikmatnya sentuhan perasaan kulit ari yang bergesekan. Kata-kata aduhai mii bermunculan dalam hati manusia.
Melayanglah hati dan perasaan ke alam angkasa biru, menjenguk gugusan bintang mengambang dan bersinar terang. Kehidupan tanah berubah menjadi angkasa, seolah hidup ini tak ada di dunia. Dari atas awan kita menoleh ke bawah, melirik ke sana ke sini menikmati isi buwana yang indah dan beraneka warna dan bentuknya. Kebahagiaan rasanya telah dimiliki. Kesusahan telah sirna dimakan oleh. keindahannya khayalan. Dengan khayal seluruh kenikmatan hidup seolah-olah terhisap dan membahagiakan. Dalam keadaan yang demikian itu tidaklah sesuatu penghalang rasanya untuk menikmati keindahan dunia ini. Tapi lacur. Udara yang sejuk tadi terganggu oleh datangnya waktu menyentakan kita dari lamunan. Kebahagiaan khayal sirna dengan mendadak. Hilang tak membekas. Terasalah dunia ini dengan segala permasalahannya. Terasalah diri duduk di atas rumput di pingir jalan. Namun dalam hati telah membekas kenikmatan yang telah dinikmati tadi. Mulailah meraba-raba, bahwa badan jasad ini sebagai penghalang. Jasad ini sebagai penyebab dari hilangnya kebahagiaan. Tapi apa hendak dikata. Kita lahir dengan bungkusan jasad. Dia buta dan berkeinginan. Dia tak mau tahu akan kenyataan. Dia menuntut untuk dipenuhi. Nama pun menempel kokoh yang diberikan oleh orang tua. Nama penyebab penderitaan. Nama pembawa harga diri. Nama menuntut sesuatu yang lebih. Nama memaksa untuk berbuat dan menuntut selalu akan harga. Dia ingin semua. Dia memaksa untuk berjuang. Dia tak mau mengerti keadaan. Dia tak mengerti kemampuan. Dia menuntut dan memaksa dengan bungkusan sebagai dalihnya. Menggelora da1am darah dan denyutnya nafas. Antara badan jazad dan nama bergelut berpelukan, saling membantu dan membenarkan dalam tuntutan. Keperluan sang pembungkus ditumpangi oleh nama yang ditempelkan pada bungkusan itu sangat kuat memenjarakan manusia dan memaksa manusia nenjadi orang hukuman. Dalam kenyataan sekarang teringatlah hal yang paling mudah adalah UANG. Uanglah alat penyelamat. Uanglah pemberi kebahagiaan. Uanglah yang dapat mengisi dan memenuhi segala tuntutan. Lalu muncullah : uang, uang dan uang. Uanglah sebagai dambaan. Uanglah sebagai pujaan. Uanglah sebagai penyelamat. Namun di balik itu sang pembungkus tak mau diajak mencarinya. Uang tak mudah datangnya. Dia tak kan datang sendirian. Dia minta pengorbanan. Uang menuntut pengorbanan segala bidang. Sang nama menolaknya. MALU, Sang pembungkus mengatakan : LELAH. Namun uang terbang di udara sebagai barang tontonan. Dia menunjukkan kemahakuasaannya. Dia menunjukkan keterampilannya. Dia bisa menciptakan sesuatu.
Dia tak mau bagi yang DIAM. Nah, apa yang akan kita perbuat untuk mengisi tuntutan sang pembungkus yang buta dan nama yang menempel dalam diri kita? Silahkan Renungkan (Dari Surat-surat Bapak Wiswamurti)