Sekarang marilah kita melihat setelah kematian dari kedua putera Hastina yaitu Citranggada dan Wicitrawirya tanpa meninggalkan keturunan. Rasa kesedihan meliputi kerajaan. Karena gagal untuk meminta bantuan Bhisma agar mau memberikan keturunan, maka dipanggillah Bhagawan Wyasa, dan Bhagawan Wyasa sanggup memenuhi permintaan ibunya. Dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika maka lahirlah Drestharastra dalam keadaan buta. Dan dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambikala maka lahirlah Pandu dalam keadaan banci. Dengan kelahirannya dari kedua putera yang keduanya dalam keadaan cacat maka dipanggilnya Dhatri untuk memberikan keturunan. Dhatri adalah pelayan istana. Untuk tidak terjadi seperti apa yang telah dilakukan oleh Dewi Ambika dan Dewi Ambikala, yang melahirkan putera-putera yang cacat, perlulah Dhatri diberikan petunjuk-petunjuk. Usaha ini diberikan pada Datri agar dia mau mengikuti petunjuk-petunjuk, karena rupa dari Bhagawan Wyasa  yang angker dan menjijikan itu, dan agar menerimanya dengan senang hati.

       Kedatangan Bhagawan agar diterima dengan suka cita, agar supaya nanti dapat melahirkan putera yang tampan. Tetapi apa hendak dikata, karena takdir sudah menentukan, akhirnya putera yang lahir dalam keadaan yang cacat pula yaitu kakinya timpang. Maklumlah Bhagawan Wyasa yang dilahirkan di  Krishna Dwipayana di sungai Yamuna, sebagai akibat dari perkawinan antara Dewi Durghandini dengan Bhagawan Parasara. Beliau mempunyai rupa yang jelek dan sangat menjijikkan sekali. Namun dibalik itu, beliau mempunyai pengetahuan yang tak ada bandingannya di dunia ini. Melihat  dari rupa beliaulah maka timbul rasa mual dan perasaan yang tidak enak. Karena perasaan jijik dan takut melihatnya, ada yang memejamkan mata dan ada yang pingsan. Inilah yang menjadi sebab pertama mengapa putera-putera penerus darah Hastina itu dalam keadaan cacat, ada buta dan ada yang banci.

       Nah setelah kita mengetahui jalan ceritanya yang begitu singkat, maka tinggal giliran kita untuk menelaah serta mencari isi yang terkandung di dalamnya. Setelah kita gagal dalam segala usaha yang kita jalankan dalam menemukan apa yang kita sebut ketenteraman hidup. Seluruh usaha menemukan kegagalan total, yang berakhir dengan kesedihan dan penyesalan. Barulah ingat bahwa semua yang dipandang akan menyusahkan dahulu, akan dapat menolongnya. Ingat pada Bhisma tetapi Bhisma tidak mau menolongnya karena telah bersumpah  tidak akan kawin. Sama halnya dengan alat yang diperlukan itu adalah alat yang sudah ditinggalkan dan dibuat rusak supaya tak dapat dipakai, lalu kita mau pakai kembali setelah alat-alat yang diharapkan akan mampu, sebenarnya tidak mampu melakukan tugas semestinya. Dengan tergesa-gesa mengambil alat yang sudah dibuat rusak, dengan sendirinya tidak akan mampu melakukan tugas yang semestinya. Oleh karena tiu janganlah dengan tergesa-gesa mengambil suatu prasangka yang bukan-bukan terhadap sesuatu yang belum tentu akan merugikan, dan malah memaksakan agar yang tidak diperlukan waktu itu, yang disangka akan merugikan, untuk disingkirkan. Untuk tidak menyesal di kemudian hari sebaiknya diterima saja dengan pemikiran bahwa bukti yang menjadi saksi. Tunggu saja kenyataannya. Dengan kenyataan yang ada, barulah dapat mengadakan penilaian yang tepat. Inilah sebagai hasil gegabah yang dilakukan dengan tidak mau percaya dengan orang lain sehingga mengakibatkan suatu penyesalan akibat dari salah sangka. Tetapi akhirnya dapat juga diatasi setelah ingat kembali dengan Bhagawan Wyasa, sebagai puteranya sendiri. Memang bila dilihat rupa dari Bhagawan Wyasa yang jelek itu, karena merupakan suatu simbul dari suatu kenyataan. Setiap orang yang pikirannya selalu diliputi oleh balutan indria (nafsu) dengan sendirinya tiada ingin akan berpikir berpayah-payah. Berpikir yang bersumber kesucian (Parasara) dalam melebur segala sifat duniawi yang menimbulkan karmawasana yang jelek adalah suatu hal yang tidak menyenangkan (menjijikan). Karena dengan berpikir ke arah kesucian berarti harus berani meninggalkan kenikmatan duniawi yang hanya sekedar untuk memenuhi nafsu keinginan yang loba. Orang tidak akan dapat melihat alam berpikir ke arah kesucian karena dikelabui oleh sifat-sifat yang materialistis.

Drestharastra  adalah perlambang dari sifat materialistis (duniawi) sehingga dilambangkannya dengan mata buta. Bila telah dikuasai oleh sifat materialis, mau tidak mau akan menjadi buta akan unsur-unsur kebenaran (kenyataan) seperti apa yang diajarkan oleh agama. Hal ini merupakan sebab pertama timbulnya pemikiran manusia dalam masyarakat. Tidak mau tahu akan suatu kenyataan. Oleh karena berpikir secara materialis akan dapat menimbulkan bencana yang hebat nantinya. Sifat materialistis semuanya itu adalah uang. Segala sesuatunya adalah uang, dengan uang dapat diperoleh. Dengan uang saja bisa bahagia. Betulkah itu? Apa Tuhan dapat dibeli dengan uang? Apakah orang dapat ke sorga dengan uangnya? Memang benar tanpa uang kita tidak bisa akan hidup. Tanpa digunakan pikiran suci dalam mengendalikannya, uang akan dapat menyebabkan penderitaan yang luar biasa. Begitu juga makanan yang tidak didasari pikiran akan dapat menimbulkan bencana pada dirinya sendiri. Marilah saya ambilkan, misalnya : alkohol adalah suatu minuman untuk menambah semangat kerja, tetapi alkohol juga untuk memabukkan, sehingga dapat mengganggu kesadaran dan kesehatan. Inilah suatu bukti bahwa penggunaan materi tanpa didasari dengan pemikiran akan menimbulkan bencana yang hebat pada diri sendiri. Begitu juga sifat Pandu yang artinya tanpa materi juga tak dapat dibenarkan. Kehidupan memerlukan material, di samping yang bersifat suksma tak bermateri.

Jangan lupa bahwa hidup ini memerlukan keduanya itu. Seperti juga orang-orang yang hanya mau menikmati kebahagiaan suksma (moril) melulu tidak mau menggunakan akal pikirannya, dia akan tersesat juga. Tetapi oleh karena saking tidak mau berpikir, karena berpikir itu adalah sulit, sehingga dia tidak mau tahu tentang apa itu berpikir. Inilah sebabnya sehingga Pandu dalam kelahirannya dari Dewi Ambikala itu dalam keadaan banci. Oleh karena itu jangan terlalu menonjolkan salah satu saja, apakah itu duniawi atau rohaniah. Sebaiknya ambil jalan tengah saja. Biarlah tak mendapat suatu keharuman dunia sebagai orang yang kaya raya, atau orang yang rohaniah yang fanatik dengan tanpa harta. Pergunakanlah akal pikiran yang sehat dan mau melatih berpikir dalam hidup di dunia untuk menuju hidup yang suci dan mukti.

Sekarang kita cari dari pengertian akan kelahiran Widura yang pincang. Begitu juga kalau hanya berpikir sebagai seorang pelayan yang tidak mempunyai suatu pikiran, maka segala gerak laku yang  dilakukan akan pincang, canggung. Hal ini disebabkan karena melakukan kerja tanpa menggunakan akal yang sehat, yang berakhir dengan selalu hidup ketergantungan. Dan tak mungkin akan dapat menolong diri sendiri. Oleh karena itu dalam setiap gerak yang dilakukan hendaknya diketahui terlebih dulu untuk apa melakukan pekerjaan itu. Dengan demikian akan dapat menolong diri sendiri dengan melatih diri dari kerja yang dilakukan. Dan bila tak dapat demikian akan tertarik ke arah sifat materialis. Di sini bila kita ambilkan dalam pengertian dalam diri kita yang terdiri dari dua badan  dan kita ini adalah manusia yang hidup, maka yang terpenting harus dapat menguasai diri dalam segala gerak dan segala keinginan melalui jalan berpikir yang terang. Berpikir yang terang yaitu tahu dengan jelas setiap gerak dari keinginan baik yang tertuju atau ditujukan kepada pemenuhan materi karena kita hidup dengan badan kasar dan juga dalam menuntut ilmu kebathinan atau kerohanian karena mempunyai roh yang juga ingin mendapat kepuasan. Setelah keduanya itu dapat dipikirkan dengan terang baik dalam mencari dan serta menggunakannya dengan memperhatikan juga unsur individu dan sosial maka kebahagiaan atau kesejahteraan dunia yang biasa disebut Jagathita akan dapat tercapai. Oleh karena sama-sama kuat untuk mempertahankan keinginan masing-masing. Dalam mempertahankan pendiriannya masing-masing maka akan timbullah perang Bharata Yudha. Sebelum saya menuju kepada perang Bharata Yudha, terlebih dahulu saya ajak mengikuti ceriteranya (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik  Bayi ini?, oleh I.N. Sika WM, 1975).