Begitu Duryodhana sampai di Hastina dan mengadakan perundingannya dengan Sakuni. Dari hasil perundingan itu timbullah judi. Karena kekuatan dan keberandalannya Duryodhana dan juga karena kelemahan dari Drestharastra, perjudian dapat disetujui. Hasil dari perjudian pertama dengan kekalahan Pandawa yang diwakili olah Yudhistira. Akibat dari hal itu menimbulkan rasa malu, harta benda menjadi habis. Kehormatan diri menjadi lenyap. Kemakmuran, sengsara dan memalukan. Tetapi karena permintaan Drupadi, karena belas kasihan Drestharastra pula kesemuanya itu dapat kembali. Tapi noda besar telah torcoreng di muka Pandawa. Duryodhana tidak puas. Dia berusaha lagi untuk mengadakan judi. Dan Yudhistira sangat malu bila ditantang tidak mau memenuhinya, maka ia mau juga. Dan dalam perjudian itu juga kalah. Akibat dari kekalahannya itu Pandawa harus dibuang dengan meninggalkan keagungannya selama 12 tahun. Bila dalam 12 tahun dia tidak dapat diketahui sebagai satria Pandawa dan juga harus melakukan penyamaran setahun lagi. Setelah itu barulah boleh kembali ke kerajaan Indraprastha lagi. Tapi bila hal itu tidak dapat dipenuhi maka Pandawa kembali menjalani hukuman seperti yang ditentukan. Namun dalam hati kecilnya Duryodhana selalu timbul suatu pemikiran bagaimana caranya agar Pandawa itu mati. Nah sampai di sini dulu, dan saya akan lanjutkan dengan ulasannya agar jangan sampai hilang maksud yang terkandung di dalamnya.

Nah jelaslah sekarang, sebagai akibat dari rasa malu dan iri hati melihat kemakmuran orang lain serta kekeliruan yang disebabkan oleh ketidaktahuan dalam menempatkan diri serta kecanggungan dalam setiap gerak. Dengan kebodohan tidak dapat menentukan dengan pasti mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kebimbang raguan yang ada malah segala pertimbangan itu akan salah-salah saja. Di sini timbulnya spekulasi. Spekulasi dari orang yang bodoh berakhir dengan kerugiannya sendiri. Dan karena mempertahankan harga diri yang tak patut dipertahankan seperti Yudhistira, hancurlah ketentraman diri dengan segala yang ada. Harta benda ludes, kebingungan timbul, tak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tanpa menyadari pengalaman-pengalaman pahit yang pernah dialami, hanya karena mempertahankan harga diri, penderitaan dan kecanggungan yang menjadi akibatnya. Dalam mempertahankan ini harus pula mempergunakan alam berpikir yang sehat. Jangan dengan begitu saja secara membuta. Harus juga diingat pengalaman-pengalaman pahit  yang pernah dialami. Pengalaman-pengalaman yang pernah dialami adalah juga merupakan guru utama dalam mengajar serta mendidik dalam menuju kekedewasaan.

Kelirulah Yudhistira dalam perbuatannya yang hanya mengikuti perasaan harga diri yang gelap, yang disebabkan karena ketakutannya kalau tak mau mengikuti Duryodhana. Tetapi bila kesadaran itu muncul dan melihat akibat dari perbuatan yang dilakukan barulah menyesal. Bingung mengamuk dalam setiap detik. Dada terasa penuh, kepala pusing, pikiran buntu. Hukuman selama 12 tahun harus dijalani dengan meninggalkan semua yang pernah menjadi milik. Bila saya mengartikan kembali angka 12, teringatlah saya akan adanya Rwabhineda. Rwabhineda terdiri dari baik dan buruk. Baik adalah sifat dari satwam, sedangkan buruk adalah sifat tamah dan rajah adalah sebagai tenaga pendorong untuk memenuhi keinginan diri sendiri. Oleh karena itu ada yang disebut Triguna : Satwam, Rajah, Tamah.  Ini menimbulkan adanya sifat loba. Sifat loba itulah yang menjadi sifat rajah. Pantaslah kalau angka dua dibelakang itu yang terlebih dahulu harus dihukum karena itulah yang menjadi sumber penderitaan. Dikendalikan agar nanti dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Juga dapat memikirkan antara yang perlu dan tak perlu. Juga agar dapat membedakan kapan harga diri dipertahankan dan kapan tak perlu.

Janganlah hendaknya diri sendiri menentukannya. Satwam adalah sifat Dewa atau rohani. Tamah adalah sifat dunia atau badani. Janganlah hendaknya kedua-duanya diikuti sekehendak hatinya. Perlu adanya satu pengertian. Rajah adalah sifat loba. Loba agar kedua-duanya puas. Itu tidak mungkin. Hanya dengan pengertian dapat mengalahkan sifat-sifat loba, barulah akan tentram. Pengertian berarti akan dapat memenuhi kedua-duanya menurut tempat dan kegunaannya. Dengan demikian antara keperluan sekala dan niskala akan terpenuhi menurut kepentingannya. Harmonislah kehidupan antara hidup duniawi dan hidup rohaniah. Terlepaslah dari penderitaan yang akan dapat membuat kebingungan. Hastinapura, berarti rumah yang tegak, atau badan yang hidup yang disebut manusia hidup.    Di dalam manusia hiduplah adanya sifat loba pada manusia hidup pulalah adanya kebingungan (Wiswamurti).