Sekarang lain lagi, Rsi Drona masih hidup. Korawa belum merasa apa-apa. Pandawa masih khawatir. Mengingat kesaktian Drona. Sekarang saya akan ceritakan akan kematian Drona yang sangat sakti itu. Hari ke limabelas Drupada mati ketika diraba oleh Rsi Drona. Rsi Drona berunding dengan Arjuna, mengatakan bahwa Arjuna tak akan dapat mengalahkan Rsi Drona. Bhatara Krishna tahu, bahwa sulit untuk mengalahkan Drona. Beliau menyuruh agar Yudhistira mau berbohong, dan mengatakan bahwa putranya Aswatama telah gugur. Yudhistira tidak mau melakukan hal itu karena bertentangan dengan dharmanya. Untuk tidak terjadinya berita bohong, Bhima mendapat akal. Bhima membunuh seekor gajah yang bernama Aswatama. Dengan matinya gajah yang bernama Aswatama, barulah Yudhistira mengatakan dimuka umun bahwa Aswatama Asti (gajah) mati, dengan suara Aswatama yang keras, dan lemah pada kata gajah. Mendengar berita itu yang dikatakan oleh Yudhistira, Rsi Drona percaya. Rsi Drona pergi ke medan pertempuran dengan perasaan kesedihan dan bingung. Di sana kesempatan Dresthadhyumna memenggal leher sang Rsi dan seketika itu meninggal. Dengan kematian ayahnya, Aswatama sangat marah dan berjanji akan membunuh Dresthadhyumna. Drona mati pada umur 85 tahun. Aswatama mengumpulkan seluruh bala tentara Korawa yang sudah kocar kacir, dan dengan senjata Brahmastra yang sakti untuk membakar Pandawa. Begitu lidah api mengejar balatentara Pandawa, mereka lari tunggang langgang. Melihat keadaan yang demikian Bhatara Krishna lalu memberikan perintah agar semuanya melepaskan senjata dan diam ditempat. Senjata Aswatama tak dapat berbuat apa-apa.Senjata tersebut hanya dapat dipergunakan sekali saja. Dengan kenyataan yang demikian, hilanglah harapan Aswatama untuk membalas dendam kepada Pandawa.
Bila kita dengar semua cerita akan kesaktian Drona, kita akan bingung akan pengendalian serta kepemimpinan Krishna dalam mengatur siasat perang dalam mengalahkan musuhnya. Drona yang mempunyai pengertian pengetahuan demi untuk kepentingan sendiri, sangat sulit untuk dikalahkan. Sebab orang akan sulit menghilangkan kepentingannya sendiri. Siapakah yang mau mengalahkan ilmu yang dapat memberikan keuntungan diri sendiri. Tapi sayangnya pengetahuan demi untuk kepentingan diri sendiri melahirkan suatu akal yang tidak baik. Anggap saja dengan kata licik. Aswatama, memetik hasil dengan tidak berusaha sendiri. Kalau demikian tentu usaha orang lain. Jadi dengan mempergunakan orang lain yang melakukan usaha, dan dengan diam-diam mengambil hasilnya. Inilah yang saya maksudkan dengan sifat licik. Pengetahuan yang tidak dilandasi oleh dharma akan takut sekali bila dharma itu sendiri yang mengatakan/menyalahkan. Bila sifat licik yang dilakukan dan dharma sendiri mengetahuinya, maka dia akan lemah.
Pada waktu kepalanya sedang berpikir itu, datanglah Dresthadhyumna (etika agama) atau etika yang diajarkan oleh agama untuk memenggalnya. Tiada ada kesempatan baginya untuk mengelak lagi. Asti boleh berarti abu, dan boleh berarti ampasnya. Gajah berarti kekuatan bergerak. Hasil perbuatan licik adalah ampasnya bukan sarinya, atau kekuatan yang licik telah tidak bisa bergerak lagi (mati). Inilah yang dapat dinyatakan oleh Agama. Dengan pengertian itu pantaslah, bila disadari, bahwa hasil dari perbuatan yang licik itu adalah merupakan ampasnya, sedang sarinya akan didapat oleh yang berhak memilikinya, atau perbuatan licik itu akan dapat dihindarkan. Sumber ilmu berbuat licik (Drona) itu kebingungan dengan penuh penyesalan. Kesempatan ini saat yang paling baik bagi Agama untuk melenyapkan sifat licik dan mengarahkannya kepada kekuatan Dharma. Dengan diketahuinya sifat licik itu, tak dengan bergerak lagi, pengetahuan yang dapat mengajarkan untuk berbuat licik, perbuatan licik itu akan marah. Dia akan membenci agama sebagai penghalang. Dia akan melampiaskan amarahnya (Brahmastra), namun dengan sifat acuh tak acuh dengan tidak akan melawannya, atau membiarkan kemarahannya yang dikeluarkan itu, pasti akan reda dengan sendirinya. Bila ada orang marah sekali tak usah dilawan, dan lawan dengan diam. Itulah nasehat Krishna yang dapat saya petikkan. Lain kali dia tidak akan marah dengan begitu saja, karena tak ada yang menghiraukan. Inilah selintas pandang yang dapat saya carikan dari hakekat yang terpendam dalam gugurnya Drona. Umur 85 adalah dalam sifat perbuatan lahirnya mengikuti ajaran Panca indriya dengan astangika marganya yang terampil dan dengan kesadaran beragama, pengetahuan yang tak baik itu dengan sendirinya akan dapat disingkirkan.
Bila belum percaya dengan agama dan Tuhan, selama itu sifat pengetahuan yang dimiliki selalu akan tumbuh dengan subur. Hanya dharma yang dipercaya. Hanya dharma yang dapat mengalahkannya. Oleh karena itu bila taat akan Agama pasti ilmu untuk kepentingan sendiri itu akan dapat dikalahkan. Sifat licik itu tidak akan mati, dan hidup sepanjang zaman (Wiswamurti).