Setelah para Korawa yang masih hidup yang merupakan janda-janda, isteri Pandawa dan Korawa, begitu juga tiga serangkai pertapa, mandi di sungai Gangga, mereka ingin melihat kegaiban yang telah dinasehatkan oleh Bhagawan Wyasa. Merekapun tak lupa mengadakan pemujaan pada Dewata dan penghormatan pada yang telah pulang ke alam baka. Kembalilah mereka menuju Bhagawan untuk menanyakan hal itu. Di sanalah mereka dapat melihat alam surga dan mengetahui siapa-siapa sebenarnya putra mereka dan panglima perang mereka itu. Bhagawan memberikan keterangan yang dapat memuaskan hatinya, sehingga apa yang menjadi keraguan dalam hatinya akan sirna. Dalam keterangan itu dijelaskan bahwa Duryodhana itu adalah penjelmaan Bhatara Kala (Kali), Sakuni adalah Dwapara, Aswatama adalah Hyang Rudra, Dussesana dengan kawannya adalah penjelmaan Raksasa, Karna penjelmaan Bhatara Surya, Dresthadyumna adalah penjelmaan Hyang Pawaka, Abhimanyu adalah penjelmaan Hyang Soma. Perang Bharata Yudha adalah kehendak Dewata. Oleh karena itu tak usahlah disedihkan, karena tak ada gunanya. Mereka telah melakukan dharmanya masing-masing yang merupakan kewajiban hidupnya sendiri. Dan merekapun dapat memasuki surga sesuai dengan karmanya.
Dewi Kunti merasa sedih, karena semasih perawan telah menggunakan mantra “Adhityahredaya” oleh Bhagawan Druwasa yang dapat mendatangkan Dewa yang disukainya. Dengan itu, setelah menggunakannya kepada Hyang Surya hamillah Dewi Kunti. Karena merasa malu, demi melahirkan Karna, anaknya dibuang. Dewi Kunti menanyakan apakah perbuatannnya itu berdosa. Dalam jawaban Bhagawan Wyasa itu tidak salah, namun membuang bayi itulah yang bersalah. Oleh karena perbuatanmu sekarang adalah baik, maka kamu diberikan untuk melihat surga dan akan dapat bertemu dengan anak-anakmu. Begitu nasehat yang diberikannya kepada Yudhistira, agar dia tidak bersedih karena ibunya masuk hutan, dan melakukan kewajibannya menjaga ketentraman negara, karena sangat banyak akan mengalami rintangan. Setelah itu Bhagawan Wyasapun pulang, dan Pandawa mohon pulang ke Hastina, dan para pertapa meneruskan tapanya sebagai Rsi.
Demikianlah pengetahuan yang dimiliki oleh Bhagawan Wyasa, dan sangat bijaksana, sehingga mereka tahu dan dapat melihat surga. Kembali akan sungai Gangga yang berarti suatu alat pelebur dosa dalam menuju hidup yang suci. Dengan menjalani kehidupan yang suci akan dapat melihat sesuatu yang belum pernah diketahui dengan hidup yang hanya dikuasai indria. Indria dapat melihat apa yang dilihat oleh mata kepala sendiri, merasakan yang hanya dapat dirasakan oleh rabaan jasmani dan lain-lainnya saja, sedangkan ada yang di luar itu yang tak mampu oleh alat indria (panca indra). Namun setelah mengalami hidup yang suci, yang dapat membutakan pengetahuan indria, barulah akan muncul suatu alat yang baru untuk mengetahuinya. Yang nyata (berwujud) hanya dapat terlihat oleh yang nyata atau berwujud, dan yang tidak nyata (tak berwujud) akan dapat diketahui oleh yang tak berwujud pula. Yang tak berwujud inilah yang disebut mata bathin, atau kemampuan daya berpikir. Kemampuan daya berpikir itu adalah suatu alat yang menunjukkan itu semua. Sedang yang melihat sesuatu yang tak berwujud itu adalah mata bathin yang didapat secara intuisi. Di sinilah bertemunya antara pengetahuan yang rasionil dan pengetahuan yang irasionil. Oleh karena itu kedua-duanya harus menjadi satu. Bila keduanya tidak mau bersatu, akhirnya akan dapat merasakan benar sendiri. Benar sendiri itulah yang menjadi kesalahan yang dapat menimbulkan saling cela mencela dan berakhir dengan peperangan. Melihat apa yang dilihat di alam sana (surga), Kala atau Kali adalah sesuatu kekuatan yang selalu mendahulukan perubahan. Perubahan menimbulkan adanya suatu sifat melebur, memelihara dan menciptakan yang baru. Itu adalah suatu proses. Proses lahir, hidup, mati. Proses materi yang membuat gembira dengan akhir materi membuat sengsara. Kala adalah waktu. Kali adalah pertempuran, perubahan. Dwapara ialah yang bersifat dua. Raksasa suatu sifat loba untuk kepentingan sendiri. Surya adalah pembawa gelap dan terang, sadar atau tidak sadar, sedih atau gembira. Rudra suatu keinginan untuk memuaskan nafsu hidup yang kuasa. Pawaka adalah sifat membakar atau melebur yang sudah rusak (kering), dan Soma adalah kekuatan memelihara yang baik. Saya kira cukup dapat dipakai gambaran untuk mengetahui lebih jauh apa, mengapa dan siapa, bagaimana dan ke mana semuanya itu. Juga mengenai kekuatan untuk menciptakan sesuatu dengan kekuatan yang ada dalam diri bukanlah merupakan kesalahan, namun membuang atau tidak mengakui hasil karya yang diperbuat itu adalah salah. Berarti tidak salah melakukan segala macam kegiatan yang dapat dilakukan, namun setelah berhasil, dan hasil itu tidak sesuai dengan yang menjadikan pemuas keinginan, atau menimbulkan rasa malu, hendaknya secara jujur mengakuinya. Dan hal itu tidak berdosa. Ingkar itulah yang berdosa. Mengakui manisnya saja, dengan membuang pahala buruknyalah yang tidak baik.
Inilah yang dapat saya petik dari wawancara Dewi Kunti dengan Bhagawan Wyasa. Dan juga memang suatu kenyataan dunia, dalam perjuangan selalu terdapat dua perasaan yang berkecamuk antara dua pertimbangan yang sama-sama kuatnya dengan alasannya sendiri dalam memilih dua kepentingan jasmani dan rohani, antara mana yang perlu dan mana yang tidak perlu, mana yang dilebur dan mana yang ditinggalkan, untuk dapat mencapai iman yang kuat dalam menuju kebahagiaan hidup abadi. Pertemuan antara seluruh Pandawa, janda Korawa, Bhagawan Wyasa dan Drestharastra, Dewi Gendari, Dewi Kunti telah berakhir, dan ke semuanya meninggalkan pertemuan untuk melakukan tugas sucinya masing-masing. Sekarang saya akan ajak menengok kematian tiga serangkai pertapa. Dua tahun telah berlalu dengan kesenangan dan kebahagiaan. Begitulah yang dialami oleh tiga pertapa. Pada suatu hari Raja Yudhistira kedatangan Bhagawan Narada. Para Pandawa sangat bergirang sekali. Kedatangannya membawa berita mengenai kehidupan Drestharastra dan ibunya yang makan buah-buahan dan akar kayu, sedang Gendari hanya minum air saja. Sebulan puasa dengan tidak makan apa-apa. Sanjaya hanya makan rumput saja dan selalu memuja Hyang Agni. Pada suatu hari mereka pergi ke sungai Gangga. Sekebalinya mereka dari sana, ditengah perjalanan, hutan terbakar, dan mereka mati terbakar, Sanjaya tak depat menolongnya aen lari menyelamatkan dirinya sendiri. Namun ketiga serangkai merasa gembira, karena yakin bahwa itu adalah jalannya pergi ke Surga. Mereka ketiga-tiganya mati terbakar. Pandawa mendangar berita sangat sedih. Yudhistira mengerti, mengira orang yang sakti seperti para Korawa tak akan mati. Yang menjadikan kesusahan Yudhistira itu adalah kematian ibunya Dewi Kunti. Hal inilah yang disampaikannya kepada Arjuna, karena Arjuna selalu memuja Hyang Agni agar beliau mencintai Pandawa. Namun buahnya kurang baik, malah Hyang Agni tak dapat melindungi ibuku. Yudhistira menanyakan, apa yang harus dikerjakan untuk menghormati ibunya. Nasehat Hyang Agni adalah memberikan jalan agar ketiganya menemukan kenikmatan di akhirat. Kewajiban mu adalah membuatkan “Udaka Tarpana” dan apem. Merekapun berhenti bersedih dan melaksanakan apa yang dinasehatkan Bhagawan Narada, lalu beliau pulang ke Surga. Tiga puluh enam tahun Yudhistira memegang tali pemerintahan dengan aman sentosa. Pada suatu hari beliau melihat alamat yang tidak baik. Apa itu, nanti saja saya ajak mengikuti ceritanya.
Sekarang lebih baik saya ajak mencari bersama-sama apa yang terkandung di dalamnya, agar ada manfaatnya. Dua tahun adalah pemenuhan ke dua badan wadah yang ada pada setiap orang dengan merata. Puas jasmani, puas rohani. Setelah keduanya puas, datang kekuatan kebijaksanaan yang terang. Timbullah kekuatan dan keyakinan akan kebenaran apa yang disabdakan oleh Tuhan.
Petunjuk kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan ke Tuhanan adalah sifat ingin akan materi, usaha dalam memenuhi pemuas keinginan materi, serta pengarahannya dengan segala kekuatannya telah mengalami kelumpuhan dan akan menuju kematian. 3 (tiga) bulan berpuasa dan menderita. Keinginan menikmati materi telah diusahakan untuk menghilangkannya. Sifat materialis telah menyadari diri, dan makan akar-akar kayu atau menikmati dari pikiran yang suci, begitu juga Kunti, berarti pengarahannya telah dibawa untuk menikmati pikiran yang suci pula. Gendari minum air yang hanya sebagai alat untuk mempertahankan hidup. Bila hal ini, telah disucikan dengan hidup yang suci, yang disaksikan oleh Sanjaya atau ke Mahakuasaan Tuhan yang hanya menikmati makanan sebagai alat hidup, dan agar dengan segera mendapatkan peleburan dalam menuju hidup yang tenteram, damai, dan bahagia lahir bathin. Sifat bhakti itu akan menyesali akan hilangnya alat konsentrasi yang diberikan oleh Dewi Kunti. Misalnya bila telah bahagia dengan sendirinya tidak lagi mempunyai arah tertentu, namun sebagai arahnya adalah pengertian Tattwamasi, karena Tuhan (Kebenaran) adalah hidupku. Jadi hidupnya itu adalah karena Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Sarwa Idham khalu Brahman, karena ke semuanya itu adalah Tuhan. Jadi harus dihormati seperti menghormati Tuhan. Inilah hukum kesamaan dalam parbedaan. Kembali ke asalnya. Perlu mengadakan Udaka Tarpana agar dapat melakukan hidup yang suci dan dapat memberikan jalan hidup yang suci kepada sifat yang terarah untuk memuaskan keinginan materi. Juga dapat memberikan peleburan dari sifat-sifat benda yang akan menjadi abu. Bila telah dapat menjalankan apa yang dilakukan oleh dharma dalam meberikan jalan mengenai hidup suci, dan dapat menerangkan bahwa benda-benda itu adalah bersifat abu akan dapatlah ketenteraman hidup di dunia ini akan terjamin. Namun setelah 36 (tiga puluh enam) tahun terlihatlah gejala-gejala yang tidak baik. Bila telah mendapatkan ketenteraman itu telah muncul kembali sifat loba dan ingin menguasai ke tiga jenis keinginan, dan juga terasa adanya penonjolan dan keakuan yang perlu mendapat pemenuhan, alamatnya sifat ketenteraman akan terganggu. Oleh karena itu perlu sekali dijaga, agar dalam segala pertimbangan itu, hendaknya jangan sampai menurutkan sifat untuk aku itu. Usahakan sebaik-baiknya agar dalam memberikan segala pertimbangan akan memuaskan semua indria. Hal ini sama dengan mengisi 3 ditambah 6 menjadi 9. Hal itu terang tidak mungkin. Seharusnya menutup ke semuanya itu, tetapi mengisinya inilah awal mula dari penderitaan dan kesengsaraan hidup, karena mengikuti getaran nafsu belaka (Wiswamurti).