Header image alt text

Arya Sastra

Guru yang sejati adalah seorang yang terus belajar sepanjang hidupnya.

Begitu Duryodhana sampai di Hastina dan mengadakan perundingannya dengan Sakuni. Dari hasil perundingan itu timbullah judi. Karena kekuatan dan keberandalannya Duryodhana dan juga karena kelemahan dari Drestharastra, perjudian dapat disetujui. Hasil dari perjudian pertama dengan kekalahan Pandawa yang diwakili olah Yudhistira. Akibat dari hal itu menimbulkan rasa malu, harta benda menjadi habis. Kehormatan diri menjadi lenyap. Kemakmuran, sengsara dan memalukan. Tetapi karena permintaan Drupadi, karena belas kasihan Drestharastra pula kesemuanya itu dapat kembali. Tapi noda besar telah torcoreng di muka Pandawa. Duryodhana tidak puas. Dia berusaha lagi untuk mengadakan judi. Dan Yudhistira sangat malu bila ditantang tidak mau memenuhinya, maka ia mau juga. Dan dalam perjudian itu juga kalah. Akibat dari kekalahannya itu Pandawa harus dibuang dengan meninggalkan keagungannya selama 12 tahun. Bila dalam 12 tahun dia tidak dapat diketahui sebagai satria Pandawa dan juga harus melakukan penyamaran setahun lagi. Setelah itu barulah boleh kembali ke kerajaan Indraprastha lagi. Tapi bila hal itu tidak dapat dipenuhi maka Pandawa kembali menjalani hukuman seperti yang ditentukan. Namun dalam hati kecilnya Duryodhana selalu timbul suatu pemikiran bagaimana caranya agar Pandawa itu mati. Nah sampai di sini dulu, dan saya akan lanjutkan dengan ulasannya agar jangan sampai hilang maksud yang terkandung di dalamnya. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (9)” »

       Demi melihat hubungan antara Krishna dengan Arjuna yang begitu eratnya maka Hyang Agni meminta bantuan kepada Arjuna untuk membakar hutan Kandawa. Karena Krishna dan Arjuna tidak mempunyai senjata, namun atas kekuatan Hyang Agni memanggil Hyang Waruna untuk memberikan senjata keduanya. Di sana Arjuna mendapatkan senjata Gandewa dan Krishna mendapat Cakra dan Gada. Dengan senjata itu akhirnya hutan Kandawa dapat dibakar dalam waktu 15 hari, sedangkan binatang yang mati hanya 6 ekor. Hutan yang dijaga oleh Hyang Indra dapat juga dibakar oleh Arjuna, Hyang Indra merasa kagum. Untuk itu beliau memberikan petunjuk agar senjata-senjata yang dimintanya nanti dapat dicari di surga pada Dewa Mahadewa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (8)” »

Nah marilah saya ambilkan satu contoh yang dapat dipetik dari lanjutan ceritera ini. Dengan tekad yang bulat Arjuna meninggalkan saudara-saudara beserta ibunya dan masuk hutan. Dalam perjalanannya, pernah saya mendengar dari pedalangan, bahwa Arjuna dihadang oleh raja ular yaitu Ulupi. Dan berakhir dengan perkawinan dengan raja ular itu sendiri. Juga menjumpai pancuran yang berlainan warna airnya. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (7)” »

Setelah diceritrakan Ekacakra, akan mulai dengan Pandawa menempuh swayembara. Hal mana dapat diketahui adalah karena datangnya seorang Brahmana, dan juga nasehat dari Wyasa. Dengan samarannya sebagai seorang siswa dari Bagawan Domya sebagai seorang Brahmana. Berangkatlah Pandawa ke negeri Pancala untuk memperebutkan Dewi Drupadi puteri Raja Drupada. Setelah swayembara dibuka, dan setelah para Raja mencobakan mengangkat busur panah yang menjadi bahan swayembara itu gagal, turunlah Karna. Tetapi sayang bagi Karna, karena sebelum dia sampai pada tempat busur diletakkan, mendapat cegatan. Hal ini disebabkan oleh karena Karna bukan satria, melainkan seorang anak kusir dokar. Dan ayahnya adalah Adirata si kusir dokar. Dengan demikian kembalilah Karna ditempatnya dengan penyesalan dan kesedihan. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (6)” »

Kita tinggalkan Wanamartha dan melanjutkan ke Ekacakra. Di dalam mengadakan pemusatan pikiran itu sering gangguan-gangguan datang yang dapat menggagalkannya. Di sini kita lihat suatu ceritera kesedihan seorang Brahmana yang disebabkan oleh anaknya yang akan dijadikan caru yang akan diberi sebagai makanan Raja Raksasa Bhaka. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (5)” »

       Hal ini akan berakhir dengan turunnya Krishna untuk mendampingi Pandawa dalam setiap perjuangannya, serta nasehat dari beberapa Maharsi seperti Wyasa, Markandea, Wiswamitra, dan beberapa Dewa dari surga yang akan memberikan petunjuk serta senjata yang akan dapat mengalahkan Korawa. Wyasa adalah perlambang pikiran suci, Markandea adalah perlambang ilmu yang menjadi sumber gerak yang dapat menggerakkan dunia, dan Wiswamitra sebagai perlambang hidup persaudaraan. Dengan ke empat Dewata tadi akan dapat membantu kesadaran serta dapat melenyapkan kebingungan. Kebingungan disebabkan oleh nafsu loba tamah akan kenikmatan dunia maya yang materialistis. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Pandawa Masuk Hutan” (4)” »

       Di sini juga sedikit saya akan petikkan ceritera lahirnya Krishna dari perkawinan antara Dewaki dan Wasudewa. Sebagai anak yang nomor 8. Tetapi mengalami suatu cara di mana pada waktu Dewaki melahirkan Krishna dan bersamaan dengan itu Yasoda isteri Nanda juga melahirkan seorang bayi pada waktu itu juga. Dengan segera anak itu ditukarkan, dan Krishna menjadi anak Yasoda dan anak Yasoda menjadi anak Dewaki. Begitu Raja Kangsa mendengar bahwa Dewaki melahirkan anak, dia marah dan langsung membunuh anak tersebut tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Dan selamatlah Krishna dari pembunuhan Kangsa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (10) : “Menjadi Pemimpin adalah Melayani”.” »

 

       Nah marilah kita sambung lagi ceriteranya.

       Kita sekarang akan melihat lahirnya Karna. Karna dilahirkan oleh Dewi Kunti sewaktu beliau mempraktekkan mantram-mantram yang diajarkan oleh seorang Brahmana bernama Druwasa. Dengan kekuatan mantram Dewi Kunti mencipta Batara Surya. Hamillah Dewi Kunti, dan dengan kekuatan doa pula lahirlah Karna dengan tidak melalui garba.  Setelah lahir terus dibuang ke sungai dan dipungut oleh Adirata. Setelah dewasa diangkat menjadi adipati Angga oleh Duryodhana. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (9) : “Menguasai perasaan ego”.” »

 

       Setelah Drestharastra lahir dalam keadaan buta, lalu dia kawin dengan Gendari, dan Pandu kawin dengan Dewi Kunti, juga dengan Dewi Madrim. Dewi Gendari adalah saudara Sakuni putera Raja Basubala dari Kerajaan Gandara, sedangkan Dewi Kunti adalah saudara Wasudewa dan Dewi Madrim adalah anak dari Raja Madrapati saudara Salya. Dari perkawinan antara Drestharastra, lahirlah seratus Korawa, dari segumpal darah, dengan Duryodhana sebagai saudara tertua. Namun dalam beberapa ceritera yang saya dengar juga disebutkan nama adiknya seperti Dussesana, Wikarna, dan Raksasa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (8) : “Awal pertempuran dalam diri seseorang yang materialistis”.” »

 

       Sekarang marilah kita melihat setelah kematian dari kedua putera Hastina yaitu Citranggada dan Wicitrawirya tanpa meninggalkan keturunan. Rasa kesedihan meliputi kerajaan. Karena gagal untuk meminta bantuan Bhisma agar mau memberikan keturunan, maka dipanggillah Bhagawan Wyasa, dan Bhagawan Wyasa sanggup memenuhi permintaan ibunya. Dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika maka lahirlah Drestharastra dalam keadaan buta. Dan dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambikala maka lahirlah Pandu dalam keadaan banci. Dengan kelahirannya dari kedua putera yang keduanya dalam keadaan cacat maka dipanggilnya Dhatri untuk memberikan keturunan. Dhatri adalah pelayan istana. Untuk tidak terjadi seperti apa yang telah dilakukan oleh Dewi Ambika dan Dewi Ambikala, yang melahirkan putera-putera yang cacat, perlulah Dhatri diberikan petunjuk-petunjuk. Usaha ini diberikan pada Datri agar dia mau mengikuti petunjuk-petunjuk, karena rupa dari Bhagawan Wyasa  yang angker dan menjijikan itu, dan agar menerimanya dengan senang hati.

       Kedatangan Bhagawan agar diterima dengan suka cita, agar supaya nanti dapat melahirkan putera yang tampan. Tetapi apa hendak dikata, karena takdir sudah menentukan, akhirnya putera yang lahir dalam keadaan yang cacat pula yaitu kakinya timpang. Maklumlah Bhagawan Wyasa yang dilahirkan di  Krishna Dwipayana di sungai Yamuna, sebagai akibat dari perkawinan antara Dewi Durghandini dengan Bhagawan Parasara. Beliau mempunyai rupa yang jelek dan sangat menjijikkan sekali. Namun dibalik itu, beliau mempunyai pengetahuan yang tak ada bandingannya di dunia ini. Melihat  dari rupa beliaulah maka timbul rasa mual dan perasaan yang tidak enak. Karena perasaan jijik dan takut melihatnya, ada yang memejamkan mata dan ada yang pingsan. Inilah yang menjadi sebab pertama mengapa putera-putera penerus darah Hastina itu dalam keadaan cacat, ada buta dan ada yang banci. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (7) : “Jalan tengah untuk mencapai kebahagiaan?”” »