Pamerih artinya menghayalkan segala sesuatu tanpa adanya perbuatan. Misalnya kita sering menjumpai satu keluarga, ia mengharapkan agar keluarganya memberikan sesuatu, tetapi kenyataannya tidak diberikan. Inilah pamerih. Pamerih terwujud pula dalam sikap berpura-pura memberikan sesuatu untuk mendapat imbalan yang lebih besar. Pamerih tidak dibenarkan oleh agama, sebab sifat pamerih akan membawa kejengkelan, kekecewaan, dan tidak membawa ketentraman.
Sifat tidak pamerih seperti : seorang pedagang, mereka melandasinya dengan perbuatan-perbuatan nyata untuk mendapat suatu keuntungan. Kita sadar, siapapun yang berusaha pasti mendapatkan itu. Apakah keuntungan itu besar atau kecil, kenyataanlah yang menentukan. Tidak perlu terlalu membayangkan keuntungan tersebut. Dengan tidak memikirkan keuntungan dan memiliki landasan suasana kerja, tidak akan mengalami kekecewaan, karena sesuai dengan kenyataan. Setiap kerja yang benar, hasilnya benar. Dengan pamerih tenaga menjadi lesu. Sikap tanpa pamerih mengakibatkan perasaan lebih aman, gairah kerja makin baik, otomatis hasilnya lebih baik.
Orang pamerih tidak mau menerima kenyataan-kenyataan, ia pasti kecewa. Kepada siapapun dengan sifat pamerih akan banyak menjumpai kekecewaan, sebab harapan lebih tinggi daripada kenyataan. Orang-orang yang demikian penuh dengan kesengsaraan atau samsara/penderitaan. Di dalam petunjuk agama, manusia tidak dibenarkan untuk mengharap kepada siapapun. Jika sampai muncul perasaan itu, kejengkelan dan kekecewaan akan menjadi jiwanya, keadaan jiwa tidak normal. Dari sini timbul upaya-upaya pikiran kotor untuk memasuki jiwa kita. Kesengsaraan akan semakin dalam. “Jangan pamerih tetapi lebih banyak berbuat”. Dengan tanpa pamerih, kita sadari hukum karma selalu bekerja. Pamerih berarti menentang hukum karma. “Terimalah kenyataan, jangan menghindar. Berbuatlah yang baik”.
Pengorbanan kepada orang lain merupakan modal atau investasi. “Jangan pamerih”. Apakah sudah punya modal? Apakah orang itu sudah punya hutang? Ketika munculnya kesadaran, pasti dikembalikan. Dengan berpikir tidak mengharap dan selalu berbuat, kepuasan akan ada pada diri sendiri. “ Berpikirlah tentang kenyataan-kenyataan ini”.
Sifat treshna dalam Sarasamuccaya, dianggap racun kehidupan. Makin banyak treshna makin banyak racun. Mengapa Sarasamuccaya menyatakan demikian? Sarasamuccaya merupakan penjabaran dari intisari Sang Hyang Asta Dasa Parwa. Maka di sinilah letak hubungan antara pamerih dengan treshna.
Dalam Mahabharata dari awal mula atau mulai dari Adi Parwa menceritakan bahwa sifat treshna menghancurkan kehidupan diri sendiri dan keluarga. Misalnya, treshnanya Dewi Gangga terhadap ketiga putranya sehingga pada akhirnya gugur sehingga membawa kebingungan pada Dewi Gangga, karena mengharapkan agar putranya menjadi raja yang didahului dengan ,menjauhkan Bhisma. Pada akhirnya Bhisma menjalankan Brahmacari.
Perkawinan Drestarastra dengan Dewi Gendari melahirkan 100 Korawa (Duryodhana sebagai anak tertua). Pada saat itu Pandu telah tiada. Secara hukum keluarga, anak-anak Pandu dipertanggungjawabkan oleh Drestarastra. Perbuatan Drestarastra sangat anti kepada Pandawa, karena niatnya ingin membunuh Pandawa untuk mendapat hak waris tunggal, sehingga Hastina menjadi kekuasaan Duryodhana. Dengan adanya itu Duryodhana selalu berusaha mencari akal untuk dapat membunuh Pandawa. Inti kekuatan Pandawa ada pada Bhima. Drestarastra berbicara kepada Duryodhana :”Jangan berbuat demikian kepada semua saudara”. Duryodhana menyanggah : ”Tidak perlu saya diurus”. Drestarastra sangat treshna kepada putranya sehingga tidak berani berbicara lagi. Sang Ibu (Gendari) membenarkan perilaku Duryodhana dan menyalahkan sang Bapak (Drestarastra). Karena sangat treshnanya sang Ibu kepada anaknya akhirnya Duryodhana melakukan penipuan melalui judi. Hal inipun ditegur oleh sang Bapak. Gendari mendukung perbuatan anaknya yang pada akhirnya Pandawa diusir. Bagaimana malunya Drestarastra? Tetapi sang Ibu, gembira, karena anaknya unggul.
Jika kita lihat pembinaan ini dari sisi pendidikan berarti kita sudah membenarkan perilaku yang salah, karena takut kehilangan anak. Yang pada akhirnya anak itu tidak tahu mana yang benar (modal pikiran) dan salah. Anak akan selalu membenarkan apa yang dirasakan benar. Ini merupakan kunci kerugian utama. Kerugian permulaan dari suatu pendidikan pada anak. Adapun tujuan pendidikan pada anak agar ia tahu mana yang benar dan salah.
Anak-anak berani kepada orang tua, akibat pendidikan awal yang keliru. Orang tua terlalu takut pada anaknya, untuk mengatakan benar dan salah. Rasa ketakutan akan kehilangan anak, sehingga membayangkan yang bukan-bukan. Kenapa orang tua tidak memberi pengertian? Sifat treshna tidak memberikan bekal kepada yang lain, seperti pengertian salah dan benar, mana kewajiban dan tanggung jawab.
Pandawa akhirnya semakin dewasa (sadar akan dirinya), yang tetap menerima kata salah. Di sini adanya tuntutan hak sehingga terjadi perang. Bagaimanapun juga, jika treshna (kenikmatan yang dinikmati oleh yang diberikan treshna) akan diambil alih melalui pengadilan. Pada akhirnya hak-haknya itu harus diambil kembali. Mungkin seluruh haknya atau mungkin sebagian. Di sinilah terjadi penyesalan yang luar biasa. Apa yang diambil oleh Duryodhana akan kembali kepada Pandawa (kehidupan Korawa hancur lebur).
Dari simbul-simbul dalam cerita di atas, Sarasamuccaya, Bhagawad Gita, Weda mengatakan bahwa treshna itu racun. Jika meminum racun ini akan sakit hati dan mengutuk Tuhan. Oleh karena itu “Jangan treshna, tetapi lakukan kasih sayang”. Namun kasih sayang oleh beberapa pihak dikatakan treshna. Dengan kasih sayang, anak sejak kecil sudah dibimbing untuk mengerti seluk-beluk kehidupan. Orang tua harus tegas mengatakan mana yang salah dan benar, sampai si anak sendiri mampu mengatakan dirinya yang salah dan sanggup dihukum.
Perbedaan kasih sayang dan treshna dapat dijelaskan sebagai berikut. Kasih sayang bertujuan menyelamatkan anak untuk menjadi suputra yaitu (a) anak yang betul-betul menjadi anak yang baik, (b) ada usaha dan tujuan yang lebih tingggi (anak betul-betul dijadikan tempat pengayoman, (c) penuh dengan pengertian tentang tanggung jawab dan kewajiban, (d) pikiran kita akan lebih tajam memperhatikan keselamatannya, (e) manusia yang penuh keterbukaan dalam perjalanan menuju kekedewasaan, (d) dan akan dapat melihat masa depannya. Sedangkan treshna adalah (a) terlalu pamerih, ketakutan, seolah-olah kalau menyuarakan pengertian anak akan hilang, (b) kalau tempat bergantung tidak dibekali dengan masa depan sama halnya dengan mengharapkan sesuatu yang tidak pernah terjadi, (c) tidak mempunyai pengertian tentang tanggung jawab dan kewajiban, (d) tidak berani memaksa anak demi keselamatannya, anak suka menuntut, dan tidak pernah tahu akan masa depannya. Kata treshna dan kasih sayang, hampir sama namun bertolak belakang. Dalam kasih sayang kita sering menggunakan Panca Nreta (penipuan) untuk keselamatan anak sendiri. Dengan pemberian kasih sayang kepada anak, anak akan memiliki bobot.