Kebenaran Tuhan terletak pada hati nurani sedangkan kebenaran  manusia terletak pada perasaannya. Manusia memiliki nafsu yang besar dan budi yang luhur. Dari darah daging kita melahirkan indria. Ngulurin indria = ngulurin nafsu yang ditimbulkan oleh darah, yang diterima dari kesucian Widhi melahirkan orang yang berbudi luhur (mencari sarwa manik, baik dirasa, tetapi yang dari darah senang yang ada hubungan dengan kepentingan). Manusia pada zaman ini tidak pernah mempunyai pemikiran. Manusia akhirnya menuju pada badan ini. Manusia mengatakan hanya badannya. Tidak pernah melihat manusia dari segi budinya.

Sang atma membawa kebenaran dasar Ketuhanan yang tidak pernah membicarakan kaya dan miskin, tetapi yang dipikirkan harga diri manusia, yang ditentukan oleh sikap mental atau budinya, sehingga hubungan antara satu dengan yang lain adanya kontak rasa. Mereka tidak melihat dari segi-segi lahiriah. Mereka selalu menilai orang dari segi kontak rasa, sebab dalam hal ini kemuliaan manusia dilihat dari budi (ethika). Harga manusia adalah ethikanya, sehingga kita menafsirkan orang selalu pas. Orang-orang ini dalam bersahabat memiliki saling pengertian. Orang-orang ini tidak mau menyinggung perasaan orang lain, karena adanya sifat tattwamasi, selalu melihat dari segi rasa. Orang-orang ini yang memiliki tenggang rasa.

Orang yang benar diusir, apakah tidak sakit hati? Orang yang berperilaku salah selalu dibenarkan dan diberikan kemewahan (Bhisma). Orang-orang yang mengerti tetap salah (harta dihabiskan, yang menghabiskan tetap benar). Dari sinilah timbulnya perpecahan dalam keluarga (permulaan). Pada akhirnya yang tersisih yang memiliki budi. Manusia pada akhirnya mempunyai batas kesabaran (pengertian). Seluruh potensi kesabaran sudah habis. Di sinilah mulai timbul perang keluarga. Akhirnya dia berani menghancurkan kekeluargaan itu sendiri maka timbullah perang keluarga melawan orang yang paling dihinakan, dengan dasar perang hidup. Dia berfikir untuk apa atau kepada siapa ia berbuat. Apakah untuk keluarga? Percuma. Inilah batas. Karena mereka serba salah. Di sini pula timbulnya sumpah (kita juga ciptaan Tuhan). Dari sikap ini, hidupnya diserahkan kepada Tuhan. Orang-orang ini rasa ketuhanannya kuat. Dia rela tanpa dengan mereka (keluarga) tanpa memikirkan keselamatan keluarganya, maka di sinilah perjuangan perjalanan hidup sendiri. Mereka berpikir untuk berjuang untuk hidup yang lebih baik. Ini yang disebut Srikandi. Ia memikirkan bagaimana hidup yang sebenarnya. Dia berani mengalahkan keinginan sifat akunya yang jor-joran. Dia berani mengurangi segala kekakuannya. Istilah Bali “jengah”, sehingga bisa nyengahang awak (tahu diri). Makanya sekarang muncul dari orang-orang yang melarat menjadi orang-orang besar. Dari sini pula kita bersahabat dengan lingkungan.

Manusia ke sorga/neraka tergantung pada suba/asuba karma jadi mereka terpaksa berpikir pada segi filsafat, tidak berpikir dari segi lahir (upakara).

Sekarang belum waktunya keluarga itu harmonis, sebab sifat pemerasan (durjana) masih kuat. Perilaku kehidupan manusia Aswathama. Maka di sini orang yang paling tua dalam lingkungan keluarga merasakan hidupnya tersiksa. Bhagawan Bhisma mengalami kesukaran. Beliau tidak menerima uluran kemewahan (orang tua mengalami siksaan), karena dia terlalu pedih akibat kekeliruan anaknya. Justru anak yang datang yang mengerti batas penderitaan orang lain, mereka yang terbuang, sedangkan yang diambil yang tidak mengerti, karena tidak memiliki rasa. Orang-orang yang berbuat mengerti perasaan orang tua. Dengan kesadaran dirinya orang tua mencari jalan yang paling baik, rela tersiksa. Sekarang belum bisa menemukan keluarga rukun, karena kelicikan-kelicikan yang masih berkeliaran. Tidak mungkin, lebih baik berjuang untuk hidup yang lebih baik. Di pihak lain akan terjadi kelumpuhan keluarga. Nah di sinilah akan timbulnya persatuan dalam keluarga. Kita masih perlu mempercepat memperbaiki proses hidup ini. Tidak perlu mengambil pertimbangan lain, untuk keselamatan hidup kita yang akan datang.