Header image alt text

Arya Sastra

Guru yang sejati adalah seorang yang terus belajar sepanjang hidupnya.

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (2)

Posted by Rama Putra on Maret 16, 2012
Posted in Renungan  | Tagged With: , , , , | No Comments yet, please leave one

      Untuk memberikan jawaban itu, saya akan berikan suatu bahan pemikiran yang saya ambilkan pengetahuan dari AGAMA, karena saya manusia beragama. Di dalam pelajaran agama saya pernah mendengar kata “TRI HITA KARANA”. Di dalam pengertian kata Tri Hita Karana tadi saya dapat mengambil pengertian bahwa sebab dari kesejahteraan itu ada tiga. Ketiga itu adalah TUHAN, MANUSIA dan JAGAT. Kalau susunannya demikian bahwa semua kelahiran itu berasal dari Tuhan. Jadi manusia itu berasal dari Tuhan.Tuhan sebagai tenaga penggerak. Manusia (dan mahluk lainnya) adalah merupakan isi yang diciptakan Tuhan untuk mengisi JAGAT. Jagat adalah merupakan wadah tempat hidup dan mencari untuk hidup. Kalau itu adalah wadah maka dapat diambil suatu pengertian bahwa itu adalah materi. Tuhan adalah jiwa. Manusia adalah alat bergerak. Continue reading “Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (2)” »

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (1)

Posted by Rama Putra on Maret 10, 2012
Posted in Renungan  | Tagged With: , , , | No Comments yet, please leave one

       Setelah saya mengikuti perkembagan ratio di zaman sekarang saya sangat kagum sekali. Daya berpikir manusia begitu pesatnya. Apa yang dirasakan dulu itu tak mungkin dapat di jangkau oleh kecerdasan akal manusia, sekarang telah menjadi kenyataan. Dengan sumbangan pikiran, yang diamalkan melalui sarana kemanusiaan seperti pabrik-pabrik besar, industri-industri besar dan modern. Keperluan hidup dapat memberikan gairah untuk mempertahankan hidup terus-menerus. Dunia telah kebanjiran dengan serba ragam keperluan hidup dari yang antik sampai ultra modern. Hubungan antar daerah, antara satu negara dengan negara lain menjadi dekat dan mudah. Persaudaraan umat yang berjauhan dapat dilaksanakan dengan mudah. Dunia menjadi semakin sempit. Komunikasi udara pun demikan. Pemikiran telah berubah. Kebudayaan telah berubah pula. Tata kehidupan tiada ketinggalan. Perubahan tata kehidupan yang berubah, kebudayaan yang telah mengalami perubahan  dengn pesatnya, sebagai akibat dari penemuan tehnik yang modern. Dengan melihat kenyataan yang demikian itu,tiadalah heran kalau pandangan akan kebenaran hidup itu akan berubah pula. Dengan melihat kenyataan yang ada sekarang ini, di mana orang telah mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang rasionil. Itu adalah logis. Mengapa saya katakan  itu adalah logis, tiada lain dari suatu pengaruh pikiran yang  sering didengung-dengungkan, bahwa akal manusia tidak akan mencapai apa yang belum pernah dilihat, dengan dalih bahwa semuanya itu adalah takdir. Ke bulan tidak mungkin kenyataannya bisa. Berbicara jarak jauh hanya monopoli orang yang mempelajari ilmu kebathinan, namun ilmu pengetahuan juga dapat menunjukkan kemampuannya. Begitu juga dalam bidang kesehatan. Inilah merupakan revanse dari pengetahuan yang terlalu meninjau dari satu segi saja. Revanse terhadap semua kepercayaan yang bersifat gaib. Dengan bangkitnya ilmu pengetahuan itu, yang dapat membangkitkan dan membuktikan kemampuannya untuk menyelidiki kabutuhan yang masih terselimut oleh ketahyulan. Saya kira hal ini pula menjadikan sebab mengapa dunia terbagi dua, antara yang masih percaya dengan adanya Tuhan, dan yarg tidak percaya adanya Tuhan. Mengapa terjadi yang demikian? Ini tiada lain karena kesalahan dari kedua belah pihak yang secara membabi buta mempertahankan kebenaran dirinya sendiri-sendiri. Atau mana yang salah, dan mana yang benar?  Silahkan dipikirkan sendiri.    Continue reading “Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (1)” »

Beberapa saat yang lalu kami telah menyajikan Menjelajahi Mahabharata secara bersambung, sekarang dapat dibaca atau di download di sini

       Di sini juga sedikit saya akan petikkan ceritera lahirnya Krishna dari perkawinan antara Dewaki dan Wasudewa. Sebagai anak yang nomor 8. Tetapi mengalami suatu cara di mana pada waktu Dewaki melahirkan Krishna dan bersamaan dengan itu Yasoda isteri Nanda juga melahirkan seorang bayi pada waktu itu juga. Dengan segera anak itu ditukarkan, dan Krishna menjadi anak Yasoda dan anak Yasoda menjadi anak Dewaki. Begitu Raja Kangsa mendengar bahwa Dewaki melahirkan anak, dia marah dan langsung membunuh anak tersebut tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Dan selamatlah Krishna dari pembunuhan Kangsa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (10) : “Menjadi Pemimpin adalah Melayani”.” »

 

       Nah marilah kita sambung lagi ceriteranya.

       Kita sekarang akan melihat lahirnya Karna. Karna dilahirkan oleh Dewi Kunti sewaktu beliau mempraktekkan mantram-mantram yang diajarkan oleh seorang Brahmana bernama Druwasa. Dengan kekuatan mantram Dewi Kunti mencipta Batara Surya. Hamillah Dewi Kunti, dan dengan kekuatan doa pula lahirlah Karna dengan tidak melalui garba.  Setelah lahir terus dibuang ke sungai dan dipungut oleh Adirata. Setelah dewasa diangkat menjadi adipati Angga oleh Duryodhana. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (9) : “Menguasai perasaan ego”.” »

 

       Setelah Drestharastra lahir dalam keadaan buta, lalu dia kawin dengan Gendari, dan Pandu kawin dengan Dewi Kunti, juga dengan Dewi Madrim. Dewi Gendari adalah saudara Sakuni putera Raja Basubala dari Kerajaan Gandara, sedangkan Dewi Kunti adalah saudara Wasudewa dan Dewi Madrim adalah anak dari Raja Madrapati saudara Salya. Dari perkawinan antara Drestharastra, lahirlah seratus Korawa, dari segumpal darah, dengan Duryodhana sebagai saudara tertua. Namun dalam beberapa ceritera yang saya dengar juga disebutkan nama adiknya seperti Dussesana, Wikarna, dan Raksasa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (8) : “Awal pertempuran dalam diri seseorang yang materialistis”.” »

 

       Sekarang marilah kita melihat setelah kematian dari kedua putera Hastina yaitu Citranggada dan Wicitrawirya tanpa meninggalkan keturunan. Rasa kesedihan meliputi kerajaan. Karena gagal untuk meminta bantuan Bhisma agar mau memberikan keturunan, maka dipanggillah Bhagawan Wyasa, dan Bhagawan Wyasa sanggup memenuhi permintaan ibunya. Dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika maka lahirlah Drestharastra dalam keadaan buta. Dan dari hasil perkawinannya dengan Dewi Ambikala maka lahirlah Pandu dalam keadaan banci. Dengan kelahirannya dari kedua putera yang keduanya dalam keadaan cacat maka dipanggilnya Dhatri untuk memberikan keturunan. Dhatri adalah pelayan istana. Untuk tidak terjadi seperti apa yang telah dilakukan oleh Dewi Ambika dan Dewi Ambikala, yang melahirkan putera-putera yang cacat, perlulah Dhatri diberikan petunjuk-petunjuk. Usaha ini diberikan pada Datri agar dia mau mengikuti petunjuk-petunjuk, karena rupa dari Bhagawan Wyasa  yang angker dan menjijikan itu, dan agar menerimanya dengan senang hati.

       Kedatangan Bhagawan agar diterima dengan suka cita, agar supaya nanti dapat melahirkan putera yang tampan. Tetapi apa hendak dikata, karena takdir sudah menentukan, akhirnya putera yang lahir dalam keadaan yang cacat pula yaitu kakinya timpang. Maklumlah Bhagawan Wyasa yang dilahirkan di  Krishna Dwipayana di sungai Yamuna, sebagai akibat dari perkawinan antara Dewi Durghandini dengan Bhagawan Parasara. Beliau mempunyai rupa yang jelek dan sangat menjijikkan sekali. Namun dibalik itu, beliau mempunyai pengetahuan yang tak ada bandingannya di dunia ini. Melihat  dari rupa beliaulah maka timbul rasa mual dan perasaan yang tidak enak. Karena perasaan jijik dan takut melihatnya, ada yang memejamkan mata dan ada yang pingsan. Inilah yang menjadi sebab pertama mengapa putera-putera penerus darah Hastina itu dalam keadaan cacat, ada buta dan ada yang banci. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (7) : “Jalan tengah untuk mencapai kebahagiaan?”” »

 

      Dari perkawinan antara Shantanu dengan Sayojanaghandi maka lahirlah Citranggada dan Wicitrawirya. Keduanya ini dibawah asuhan Bhisma kakaknya sendiri. Dan istterinyapun harus dicarikan oleh Bhisma sendiri. Dalam sayembara yang diadakan oleh Raja Kasindra  untuk mendapatkan ketiga puteri Raja Kasindra yaitu Dewi Amba, Dewi Ambika, dewi Ambikala Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (6) : “Ketidakseimbangan sebagai penyebab kegagalan?”” »

Notaris dapat mengajukan permohonan pindah tempat kedudukan setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut melaksanakan jabatannya, pada daerah kabupaten atau kota di tempat kedudukan Notaris terhitung sejak menjalankan jabatannya secara nyata sesuai dengan Undang-Undang  Jabatan Notaris. Permohonan pindah, diajukan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :  Continue reading “Syarat dan Tata Cara Perpindahan Notaris Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01-HT.03.01 Tahun 2006.” »

       Raja Shantanu setelah ditinggalkan oleh Dewi Gangga menjadi bingung. Pada suatu waktu dalam perjalanannya dia melihat Durghandini di suatu taman di tepi sungai Yamuna. Dia merasa tertarik dan jatuh cinta. Tetapi oleh karena syarat yang diajukan sebagai balas budi terhadap bapak angkatnya yaitu agar anaknya sendiri yang akan menggantikan untuk menjadi raja kelak dan bukan anak beliau dengan Dewi Gangga yaitu Bhisma. Beliau bersedih. Tetapi berkat kebijaksanaan dari putera beliau sendiri demi untuk keselamatan orang tuanya sendiri maka Bhisma mau menyerahkan tahta kerajaannya nanti, kepada saudaranya. Di sana  pula ia berjanji dan bersumpah bahwa ia tidak akan kawin (Brahmacari) untuk selama-lamanya. Dengan demikian perkawinan dari Shantanu  dengan Dewi Sayojanaghandi dapat dilangsungkan. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata (5) : “Keseimbangan antara materi dan rohani dalam menuju hidup bahagia”.” »