Header image alt text

Arya Sastra

Guru yang sejati adalah seorang yang terus belajar sepanjang hidupnya.

Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 3)

Posted by on Mei 12, 2013
Posted in Spiritual  | Tagged With: ,

       Setelah perasaan yang berkecamuk di hati Pandawa sebagai akibat tindakan Aswatama itu telah reda, antara Bhatara Krishna dan Yudhistira berunding untuk mengirim utusan ke Hastina. Akhir perundingan Krishnalah yang berangkat ke Hastina untuk menjumpai Raja Drestharastra dan Dewi Gandari. Kedua-duanya bersedih karena sekalian anaknya telah gugur. Namun setelah Bhatara Krishna menjelaskan semua persoalannya, Raja Drestharastra sadar kembali dari kesedihannya dan menerima baik apa yang dijelaskan oleh Bhatara Krishna. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 3)” »

Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 2)

Posted by on April 20, 2013
Posted in Spiritual  | Tagged With: ,

Sekarang saya akan lanjutkan ceritanya lagi. Aswatama masih hidup. Duryodhana telah mati, Panca Pandawa telah kembali ke pondoknya dengan rasa yang sedih. Namun Drupadi masih hidup, kusir kereta Yudhistira juga kelihatan masih hidup. Dewi Utari masih hidup namun bayi yang ada dalam kandungan telah tak bernyawa. Bhatara Krishna sangat marah kepada perbuatan Aswatama, dan mengutuk Aswatama atas tindakan yang dilakukannya terhadap Dewi Utari. Kutukan itu berbunyi agar Aswatama selama 3.000 tahun tak dapat berkata—kata dan akan hidup di tempat yang sunyi, dan berkeliaran karena tak mempunyai daerah. Sebagai penawar kesedihan Dewi Utari, Bhatara Krishna juga menyanggupi, bila bayi itu lahir akan dihidupkan lagi. Legalah Dewi Utari. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 2)” »

Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 1)

Posted by on Maret 9, 2013
Posted in Spiritual  | Tagged With: ,

Peperangan antara Korawa melawan Pandawa telah selesai. kemenangan berada di pihak yang benar. Kekalahan berada di pihak yang salah. Sifat Adharma melawan Dharma. Sifat Dharma dapat mengalahkan sifat Adharma yang angkara murka. Korawa dengan sifat adharmanya dan Pandawa dengan sifat Dharmanya. Tingkah laku yang dilandasi  dengan sifat adharma menemukan kahancurannya dengan sedih penyesalan. Dharma akan melakukan kewaijibannya untuk memperbaiki yang telah rusak akibat peperangan yang hebat. Memperbaiki kemelaratan, kesengsaraan, serta penderitaan, sebagai warisan dari kezaliman yang sedang berkuasa dengan sifat adharmanya. Oleh karena kesemuanya telah rusak, begitu juga sifat-sifat yang ada dalam setiap diri yang membuat kesengsaraan badan, dan harta benda. Kuruksetra telah memakan korban yang amat banyak. Unsur-unsur yang membawa ke jurang penderitaan lahir bathin telah terkubur di arena Kuruksetra, Bhisma telah menemui ajalnya oleh Srikandi setelah dapat mengalahkan Arya Seta. Drona telah mati ditangan Dresthadhyumna, Karna telah mati dipanah Arjuna, Jayadrata, Dussesana, Salya, dan yang terakhir adalah Duryodhana. Kematian Duryodhana mengakhiri Bharatayudha. Tinggal tiga serangkai lagi, yaitu Aswatama, Krepa, dan Karthamarma. Dialah yang akan dapat membalas sakit hati Duryodhana, yang membawa kematiannya dengan puas. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata Ke-4 (Bagian 1)” »

Itulah sebagai bahan dalam berpikir agar dapat hidup tentram. Tinggal Duryodhana. Marilah saya ajak melihat akan kebingungan Duryodhana, setelah kehilangan panglima-panglima perang yang diharapkan untuk dapat menolong menegakkan kerajaan Korawa. Prajurit Korawa terpilih hanya tinggal 3 orang, Krepa, Aswatama, dan Karthamarma. Duryodhana meninggalkan medan pertempuran dan bersembunyi dalam telaga. Demi melihat Duryodhana. meninggalkan medan, ke tiga prajuritnya mencari dengan diikuti oleh Sanjaya.  Ke tiga orang tadi mengajak, agar pertempuran dilanjutkan. Namun Duryodhana menolak dengan alasan sudah lelah. Orang-orang yang kebetulan mendengar percakapan tadi, antara Duryodhana dengan ke tiga prajurit Korawa tadi melaporkan pada Pandawa. Para Pandawa segera menuju tempat itu dan mendekatinya. Yudhistira mengajak untuk berperang. Terjadilah tanya jawab antara Yudhistira dengan Duryodhana. Duryodhana menolak dengan alasan bahwa dia telah lelah dan perlu mengaso. Ke dua segalanya telah rusak, dan dia dengan rela akan masuk hutan. Seterusnya Duryodhana dengan rela menyerahkan kerajaan Hastina kepada Yudhistira. Ke empat dia tak mungkin akan melawan musuh yang lengkap dengan persenjataannya. Bila Pandawa suka maju satu persatu, Duryodhana akan mau berperang. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharata Yudha” (14)” »

Hanya sekian dahulu ulasan yang dapat saya berikan, karena hampir sebagian besar telah dijelaskan dimuka. Lebih baik kalau saya melanjutkan dengan kematiannya Salya. Salya juga panglima perang yang tangguh. Mempunyai kesaktian yang melebihi Karna. Jadi Pandawa sangat khawatir akan kesaktiannya Salya. Namun karena ada maksud baik dari Salya yang tak mau membela Korawa, tetapi karena telah terkena tipu, demi harga dirinya sebagai seorang satria badannya dia serahkan kepada Korawa. Diapun akan menunjukkan sifat satrianya dalam medan pertempuran. Dia tak akan mau, kalau dia dipandang penghianat yang secara nyata. Akhirnya atas nasehat Krishna, dengan mengirim utusan (Nakula) untuk meminta rahasia kematiannya. Nakula berhasil baik, dan Salya mau memberikan. Hanya Yudhistiralah yang akan dapat mengalahkannya. Yudhistira menghadapi Salya. Salyapun tahu dirinya akan menemui ajal. Dengan senjata Kalimosada akhirnya Salya gugur. Dengan demikian habislah kekuatan Duryodhana yang diandalkan. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (13)” »

Marilah saya lanjutkan cerita gugurnya Karna. Dalam cerita tadi Karna belum dapat dikalahkan. Karna sangat kuat. Malah Pandawa hampir dapat dilumpuhkan, kecuali Bhima. Arjuna dengan senjata Gandewanya akan dipergunakan. Krishna akan lebih awas. Salya akan dapat memainkan peranan rahasianya lebih baik. Walaupun Karna mempunyai kesaktian yang tak terkalahkan, namun senjata saktinya telah tak ada lagi gunanya senjata Kunta. Senjata naga sudah tak mempan lagi malah tak akan lagi dipergunakan. Tinggal kepandaian saja. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (12)” »

Bhisma telah gugur, Drona, Jayadrata juga telah gugur. Sekarang akan disusul oleh Dussesana. Nah, sekarang saya akan lanjutkan dengan cerita gugurnya Dussesana adiknya Duryodhana. Hari ini adalah hari yang ke enam belas. Pada hari ini yang menjadi panglima perang adalah Karna. Kereta Karna akan dikusiri oleh Salya. Pada malam ke tujuh belas Karna menetapkan akan berhadapan dengan Arjuna. Namun antara Salya dan Karna tarjadi percekcokan, karena merasa dirinya direndahkan. Karna dicaci maki habis-habisan. Atas permitaan Duryodhana agar seimbang kekuatannya melawan Arjuna yang dikusiri oleh Krishna. Salya mengalah dan mau mengusiri kereta sang Karna. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (11)” »

Sekarang lain lagi, Rsi Drona masih hidup. Korawa belum merasa apa-apa. Pandawa masih khawatir. Mengingat kesaktian Drona. Sekarang saya akan ceritakan akan kematian Drona yang sangat sakti itu. Hari ke limabelas Drupada mati ketika diraba oleh Rsi Drona. Rsi Drona berunding dengan Arjuna, mengatakan bahwa Arjuna tak akan dapat mengalahkan Rsi Drona. Bhatara Krishna tahu, bahwa sulit untuk mengalahkan Drona. Beliau menyuruh agar Yudhistira mau berbohong, dan mengatakan bahwa putranya Aswatama telah gugur. Yudhistira tidak mau melakukan hal itu karena bertentangan dengan dharmanya. Untuk tidak terjadinya berita bohong, Bhima mendapat akal. Bhima membunuh seekor gajah yang bernama Aswatama. Dengan matinya gajah yang bernama Aswatama, barulah Yudhistira mengatakan dimuka umun bahwa Aswatama Asti (gajah) mati, dengan suara Aswatama yang keras, dan lemah pada kata gajah. Mendengar berita itu yang dikatakan oleh Yudhistira, Rsi Drona percaya. Rsi Drona pergi ke medan pertempuran dengan perasaan kesedihan dan bingung. Di sana kesempatan Dresthadhyumna memenggal leher sang Rsi dan seketika itu meninggal. Dengan kematian ayahnya, Aswatama sangat marah dan berjanji akan membunuh Dresthadhyumna. Drona mati pada umur 85 tahun. Aswatama mengumpulkan seluruh bala tentara Korawa yang sudah kocar kacir, dan dengan senjata Brahmastra yang sakti untuk membakar Pandawa. Begitu lidah api mengejar balatentara Pandawa, mereka lari tunggang langgang. Melihat keadaan yang demikian Bhatara Krishna lalu memberikan perintah agar semuanya melepaskan senjata dan diam ditempat. Senjata Aswatama tak dapat berbuat apa-apa.Senjata tersebut hanya dapat dipergunakan sekali saja. Dengan kenyataan yang demikian, hilanglah harapan Aswatama untuk membalas dendam kepada Pandawa.

Bila kita dengar semua cerita akan kesaktian Drona, kita akan bingung akan pengendalian serta kepemimpinan Krishna dalam mengatur siasat perang dalam mengalahkan musuhnya. Drona yang mempunyai pengertian pengetahuan demi untuk kepentingan sendiri, sangat sulit untuk dikalahkan. Sebab orang akan sulit menghilangkan kepentingannya sendiri. Siapakah yang mau mengalahkan ilmu yang dapat memberikan keuntungan diri sendiri. Tapi sayangnya pengetahuan demi untuk kepentingan diri sendiri melahirkan suatu akal yang tidak baik. Anggap saja dengan kata licik. Aswatama, memetik hasil dengan tidak berusaha sendiri. Kalau demikian tentu usaha orang lain. Jadi dengan mempergunakan orang lain yang melakukan usaha, dan dengan diam-diam mengambil hasilnya. Inilah yang saya maksudkan dengan sifat licik. Pengetahuan yang tidak dilandasi oleh dharma akan takut sekali bila dharma itu sendiri yang mengatakan/menyalahkan. Bila sifat licik yang dilakukan dan dharma sendiri mengetahuinya, maka dia akan lemah. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (10)” »

Abhimauyu telah gugur. Sifat yang takbur telah hilang. Jayadrata telah kalah. Keagungan yang ingin kuasa sendiri telah lenyap dikalahkan oleh kekuatan yang Mahakuasa. Pikiran sebagai obor sedang bertempur menerangi kegelapan. Gatotkaca muncul. Sekarang saya akan ajak dengan cerita gugurnya Gatotkaca sebagai panglima Pandawa yang sangat sakti, yang dapat terbang. Karna sebagai lawan yang sangat pandai dalam memanah. Karna dengan senjata Konta pemberian Hyang Indra yang sangat sakti. Dalam pertempuran yang sangat seru itu, berakhir dengan gugurnya Gatotkaca. Pandawa marah pada Bhatara Krishna, dengan kekalahannya Gatotkaca. Namun setelah Bhatara Krishna menerangkan duduk persoalannya, Pandawa mau menerima dan berterimakasih. Diterangkan oleh Bhatara Krishna, bahwa senjata Konta itu amat sakti dan dapat dipergunakan satu kali saja. Demi untuk keselamatan Pandawa, Gatotkaca harus dikorbankan, selamatlah Pandawa dari senjata Konta Karna. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (9)” »

Marilah kita tinggalkan kematiannya Bhisma. Bhisma sedang melihat pertempuran dari cucunya. Bagaimana akhirnya? Saya akan lanjutkan dengan gugurnya Abhimanyu putra Arjuna oleh Jayadrata. Abhimanyu yang baru saja berumur 16 tahun, mengadakan pertempuran terpisah dengan para Pandawa. Ini adalah tipu muslihat Korawa. Abhimanyu yang sakti itu dapat mengelakkan atau dapat menerobos pasukan Rsi Drona, Aswatama, Krepa, Karna dan lain raja pembela Korawa. Malah dapat membunuh putra Duryodhana sendiri. Dusesana, dapat dilukai, dan Raja Jayadrata datang menolong Korawa. Continue reading “Menjelajahi Mahabharata “Perang Bharatayudha” (8)” »